Rasialisme, Realitas dan Sebuah Konsekuensi


Surveylah pada masyarakat, “suku bangsa yang manakah yang paling unggul dalam berbisnis?” Saya kira, persentase terbesar jawaban akan ada pada suku bangsa Tionghoa.

Hipotesis ini hingga kini masih dipegang teguh. Bahkan terselip sebuah kebanggaan untuk menyatakan hal tersebut; bahwa suku bangsa Tionghoa adalah ras yang paling unggul dalam berdagang dan menggiatkan aktivitas perekonomian. Kemudian itu akan diperkuat dengan “fakta-fakta” di lapangan perekonomian, kalau memang suku bangsa Tionghoa memang memegang kendali bisnis dan perekonomian. Seolah-olah, tanpanya ekonomi pun  mati.

Dengan tingkat pendapatan yang tinggi daripada suku-suku bangsa lainnya yang hidup di Kota Medan dan Sumatera Utara, maka hipotesis ini seakan-akan telah menjelma menjadi postulat nan unik; dia tak perlu dibuktikan kembali kebenarannya. Masyarakat pun mengunyah soal ini dalam-dalam, yaitu suku bangsa Tionghoa identik dengan keunggulan dalam berdagang.

Inilah salah satu jebakan “rasialisme” yang mudah untuk ditemukan tidak hanya di masyarakat Sumatera Utara, tapi juga di Indonesia. Hal ini, tanpa kita sadari –atau dimaklumi secara diam-diam – membawa kita pada satu backmind  rasialis lainnya yang merupakan negasi dari hal tersebut yaitu, dengan mengatakan suku bangsa Tionghoa sebagai ras yang paling unggul dalam berdagang, otomatis suku-suku bangsa di luar suku bangsa Tionghoa bukanlah suku bangsa yang unggul dalam berdagang. Ada posisi superior dan inferior.

Dalam masyarakat modern dan demokratis, maka model berpikir seperti ini tentu saja berbahaya dan melanggar hak-hak dasar manusia yang diciptakan sama.

Tapi kalau meminjam metode dialektik, maka kita justru akan menemukan turbulensi yang cukup tegas. Adakah “keunggulan” itu memang lahir sendiri dan kemudian menjadi semacam bakat bawaan? Ataukah dia memang suatu kondisi yang hadir berbarengan dengan persyaratan-persyaratan tertentu?

Konteks

Sebelum Indonesia merdeka di 1945, pada akhir-akhir abad ke-19, kawasan Hindia Belanda sebagai jajahan Belanda juga terlanda liberalisasi ekonomi sebagai dampak revolusi industri di Inggris. Kapitalisme yang hadir di Eropa itu berimplikasi terhadap adanya pengakuan mutlak pada kepemilikan perseorangan. Akibat  liberalisasi ekonomi ini, modal asing datang dengan arus yang tinggi. Pabrik-pabrik dengan modal asing pun merajalela. Sebagai dampak, lahan pesawahan atau perkebunan masyarakat diambil-alih melalui tangan-tangan perangkat desa. Kapitalisme pada ghalibnya berteman erat dengan feodalisme.

Konsekuensinya, masyarakat pribumi di Hindia Belanda, kehilangan faktor produksi berupa aset tanah. Lahan garapan petani diubah menjadi ladang tebu, tembakau dan lain sebagainya, dan para petani justru hanya menjadi buruh dari pabrik-pabrik dan perkebunan besar.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda, ketika menciptakan tiga kelas masyarakat, secara sadar telah meletakkan suku bangsa Tionghoa sebagai warga kelas dua di bawah kelas elit yaitu Belanda dan orang-orang Eropa. Sementara, orang-orang “pribumi” yang terdiri suku bangsa yang lahir di tanah air Hindia Belanda seperti Batak, Minangkabau, Melayu dan seterusnya, membentang secara horizontal di lapisan terbawah kelas-kelas sosial politik masyarakat. Tentu, stratifikasi ini membawa dampak ekonomis dan kemudahan-kemudahan bagi suku bangsa Tionghoa dalam eksistensi dan perkembangannya di kemudian hari. Belanda tentulah sudah memerhitungkan keuntungan yang luar biasa dari stratifikasi ini. Itu adalah tipikal elit yang menjadikan kelas di bawahnya selalu dihubungkan dalam skema Tuan dan Bawahan, Raja-Pelayan, dan kalau memakai idiom sosialis, antara Borjuis-Proletar.

Tentulah keuntungan masa lampau ini tidak bisa ditinggalkan begitu saja ketika melihat kedigdayaan suku bangsa Tionghoa menguasai perekonomian. Akses yang cukup kuat di sektor permodalan, penguasaan aset-aset dan sumber daya dan seterusnya.

Karena itu, bukan tanpa sebab ketika suku bangsa Tionghoa menjadi salah satu sasaran aksi demonstrasi ketika terjadi ketidakadilan sosial ekonomi. Demonstrasi massa di 1998 paling tidak menunjukkan itu. Jauh sebelumnya, pada era 1960-an, pada kerusuhan 10 Mei 1963 di Bandung dan pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, suku bangsa Tionghoa juga mengalami nasib serupa. Juga pada kerusuhan Malari pada 1974 di Jakarta. Bila ditarik lebih ke belakang, sebelum kemerdekaan 1945 pun, kerusuhan rasial yang pada intinya ingin melawan dominasi perekonomian Tionghoa, massif di lakukan di Indonesia.

Misalnya, salah satu reaksi ekonomi yang bercorak sosial politik yang dapat dikatakan paling utama di Indonesia, tentulah dengan berdirinya Serikat Dagang Islam (SDI) yang diprakarsai oleh KH Samanhoedi pada 16 Oktober 1905. Menggalang para pedagang –semula didominasi oleh pedagang batik– yang semakin tak menentu nasibnya karena ketidakadilan ekonomi dan sosial politik Hindia Belanda, organisasi memang diniatkan berhadapan secara langsung dengan pedagang Tionghoa.

Pada 11 November 1912, SDI berubah menjadi Serikat Islam (SI) dan Haji Oemar Said Tjokroaminoto duduk sebagai Ketua. Dalam kongresnya di Surabaya bulan Januari 1913 ditetapkan bahwa kegiatan SI bersifat menyeluruh untuk segenap pelosok tanah air. Pertalian antara ekonomi dan politik menjadi begitu kuat ketika SDI berubah menjadi SI. Dalam waktu singkat SI menjadi gerakan politik terbesar di Indonesia dan menjadi sumber inspirasi buat gerakan-gerakan nasionalisme Indonesia sesudahnya. Aliran kanan, kiri dan moderat, numplek di organisasi ini.

Hal terpenting dari reaksi ini sebenarnya bukanlah perlawanan secara massif secara ekonomis kepada suku bangsa Tionghoa semata, melainkan tumbuhnya kesadaran dari pedagang pribumi akan dirinya sendiri dan kemudian menjadi kesadaran umum dari seluruh masyarakat jelata. Tidak hanya pedagang, melainkan juga kalangan petani-nelayan, buruh pabrik dan perkebunan, pemuda, pelajar, kaum agamawan dan seterusnya. Pendek kata, SI telah berhasil menebar benih-benih yang dalam masyarakat sekarang sering disebut dengan istilah civil society atau masyarakat madani. Tak salah kiranya bila perubahan sosial inilah yang kemudian dituai pada Proklamasi 1945.

Realitas

Pada era globalisasi abad 21 ini, secara teoritis, rasialisme dilarang dan pluralisme dikedepankan. Namun, bukankah yang terjadi justru sebaliknya?

Ikatan ras dan kesukuan justru semakin kelihatan dan malah makin kuat. Di era ini, setiap suku yang dulunya tidak bisa berkembang karena ancaman sistem yang refresif, kini semakin terbuka untuk melakukan “kampanye” di tengah-tengah setting sosial masyarakat yang tentu saja beragam-ragam suku dan agamanya. Identitas pribadi dan kelompok makin mengemuka. Bila dulu di masa Orde Baru, seorang suku bangsa Tionghoa harus merubah namanya merujuk pada salah satu suku bangsa tertentu, kini tidak begitu lagi.

Keterbukaan dan penghargaan terhadap keanekaragaman, seperti yang sering disematkan kepada paham “pluralisme”, seringkali hanya kenaifan semata. Suku merupakan identitas kelompok dan justru karena itulah anggota-anggotanya akan selalu punya potensi sebagai penyebar “keagungan” identitas mereka kepada orang dan kelompok lain. Karena di Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa, justru karena itu pula Indonesia telah menjadi pasar bebas dari suku-suku bangsa tersebut. Penyebaran ide-ide kelompok tentulah memersyaratkan kemampuan dan kekuatan kelompok itu sendiri. Dus, kekuatan kelompok memerlukan daya politik dan sumber daya ekonomi.

Demikianlah. Pluralitas (bukan pluralisme) adalah realitas objektif. Namun, pergesekan, kecemburan dan kemudian kerusuhan dan bentrokan yang terjadi, patut dicurigai karena adanya pemihakan dan pengistimewaan terhadap salah satu suku bangsa. Justru pemihakan itulah rasialis-rasialis sejati. Mereka tak lebih seperti pemerintah kolonial Belanda. (*)

 

foto: tempo.co.id, padangnews.com

One thought on “Rasialisme, Realitas dan Sebuah Konsekuensi

Leave a comment