Sandera Diskriminasi Tionghoa


Pasca reformasi, “klaim” diskriminasi tampaknya masih propaganda utama dari suku bangsa Tionghoa di Indonesia. Hal itu tampak pada puncak peringatan Cap Go Meh 2012 yang baru-baru ini ditayangkan di salah satu tv swasta dan dihadiri oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, Wapres Boediono, dan deretan pejabat pemerintahan lainnya.

Kita harus menggarisbawahi soal “klaim” sepihak dari suku bangsa Tionghoa ini. Apalagi saat Abdurrahman Wahid menjadi Presiden pada 1999 lalu, dia telah menandatangani Keppres Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden No 14 Tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat-istiadat Cina. Kurang lebih sudah 12 tahun, perlakuan kekuasaan Soeharto via Orde Baru-nya sudah dicabut. Itu artinya, suku bangsa Tionghoa sudah seharusnya tidak lagi mempropagandakan diskriminasi terhadap mereka. Apalagi bila dibandingkan tingkat kesejahteraan dan kemakmuran mereka yang di atas rata-rata suku bangsa yang lainnya. Pertanyaan besarnya adalah bila mereka diberlakukan diskriminatif oleh kekuasaan, lalu mengapa suku bangsa Tionghoa bisa makmur sekali?

Ada argumen yang mengatakan justru kemakmuran mereka disebabkan oleh kelihaian dan keuletan mereka berbisnis. Tapi itu juga sama dengan mengatakan suku bangsa yang lain tidak lihai dan tidak ulet dalam berbisnis dan berdagang. Kita justru terjebak dalam pemikiran rasis, bahwa suku bangsa Tionghoa merupakan ras yang paling unggul dalam berdagang sementara suku bangsa yang lain tidak unggul, tidak ulet dan tidak lihai.

Argumentasi Sejarah

Dulu, dalam stratifikasi sosial yang dilakukan kolonial Belanda, etnik Tionghoa digolongkan sebagai warga kelas dua, setelah warga Belanda dan Eropa lainnya. Pembesaran warga Tionghoa dilakukan secara sistematis, tidak hanya dalam perdagangan semata, melainkan juga pemukiman, status sosial, kehidupan budaya dan seterusnya. Aktivitas perdagangan mereka jelas sepenuhnya dilakukan untuk melayani kepentingan Hindia Belanda. Dengan pijakan ini, maka akan masuk akallah sebuah argumen yang mengatakan kalau etnis Tionghoa telah menjadi penyokong utama dari sistem ekonomi eksploitatif Belanda kepada pribumi Indonesia. Tentu ini dengan tidak menisbikan beberapa aktivis Tionghoa yang berkomitmen pada kemerdekaan Indonesia.

Sejarahwan Kuntowijoyo dalam bukunya Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi (1991) menulis panjang setting sejarah soal ini. Dia menyebut, didirikannya Demak sebagai Kerajaan Islam pertama di Jawa pada akhir abad ke-15 merupakan kemenangan kelas saudagar dan kemenangan jenis kerajaan maritim atas aristokrasi dan negara agraris Majapahit. Namun, kegiatan perdagangan saudagar Islam yang sedang muncul ini dihentikan oleh bangsa Portugis yang datang ke perairan Asia Tenggara. Runtuhnya perdagangan internasional terbukti fatal untuk negara Islam yang baru saja didirikan itu karena dalam waktu kurang dari seabad, muncul pula sebuah negara agraris, Mataram, yang memerintah seluruh Jawa.

Mataram menyibukkan diri menegakkan kekuasaannya dengan menyerang kubu kaum saudagar muslim. Kebijaksanaan itu tampaknya dilakukan agar Mataram dapat memegang monopoli dagang, sebagian untuk melawan Belanda yang mulai masuk dan sebagian untuk memperkuat dasar ekonominya sendiri. Kota-kota pesisir itu, yang telah dilemahkan oleh hilangnya perdagangan internasional, tak mampu bertahan terhadap ekspansi Mataram dan ditaklukkan.

Namun, tulis Kuntowijoyo, Mataram lambat laun menjadi wilayah kecil. Belanda memperoleh beberapa wilayah atas jasa-jasanya kepada raja. Dan kemajuan Belanda ini makin memerosotkan lagi kelas pedagang Muslim. Setelah kehilangan perdagangan internasional, mereka pun masih kehilangan perdagangan antar-pulau. Pengaturan perdagangan dan pengangkutan antar pulau ini dibuat sedemikian rupa hingga makin memiskinkan kelas pedagang muslim. Tambahan lagi, Belanda membangkitkan suatu kelas pedagang baru, para saudagar Cina. Mereka ini menggaruk keuntungan perantara yang melayani Belanda sebagai kontraktor, pemegang lisensi, pedagang candu, memajaki petani dan secara umum bekerja di bidang perdagangan dan industri. Sepanjang abad ke-19, jumlah kelas menengah muslim terus merosot, yang justru menguntungkan Cina. Kelas menengah pribumi pun berujung sebagai pedagang kecil dalam perekonomian bazar pedesaan.

Orde Baru dan Reformasi

Saya termasuk di antara yang tidak percaya kalau keunggulan ekonomi suku bangsa Tionghoa yang begitu kasat mata kini, karena faktor internal an sich dari suku bangsa ini sendiri. Desain politik kekuasaan begitu mengemuka ketika kita memeriksa warta-warta dari sejarah Indonesia, sebelum dan sesudah merdeka.

Sebelum Indonesia merdeka, suku bangsa Tionghoa mendapat keuntungan dari model stratifikasi sosial ala kolonial Belanda. Dimasukkannya etnis Tionghoa sebagai warga kelas dua, jelas sebagai strategi politik sekaligus strategi dagang Belanda.

Demikian juga di masa Orde Baru. Betul bila Pemerintahan Soeharto mengeluarkan kebijakan diskriminatif kepada suku bangsa Tionghoa pada 1967. Tapi tentu, Soeharto tak akan segegabah itu melakukannya tanpa alasan bukan? Tapi jangan lupa, Soeharto pun kemudian meniru langkah kolonial Belanda untuk membesarkan para pengusaha dari etnis Tionghoa demi pembiayaan kepentingan politik Soeharto. Kebijakannya tak melulu persis dengan Kolonial Belanda yang secara langsung memberi status kelas berbeda. Soeharto memilih kebijakan model ekonomi konglomerasi via trickle down effect, sebagai wadah untuk itu. Itu saja telah menjelaskan banyak hal pada kita.

Dalam kacamata politik kekuasaan, adalah sebuah “kewajaran” bila Soeharto tak memberi ruang bagi kemajuan saudagar muslim dalam perdagangan. Riwayat Serikat Dagang Islam (SDI) pada 1905, merujuk pada tulisan Kuntowijyo, menunjukkan itu. Pada masa itu, kelas menengah pribumi bersaing keras dengan pedagang Cina yang telah lama berkuasa. SDI menjadi artikulasi kebencian pribumi terhadap bisnis Cina yang memonopoli jaringan perdagangan. SDI melawan golongan Cina itu dengan aksi boikot terhadap barang dagangan mereka dan dengan mendirikan bisnis sendiri. Di berbagai tempat gerakan koperasi SDI dapat mengalahkan persaingan Cina. Kepentingan bisnis SDI segera saja diganti oleh seruan yang lebih luas menuju nasionalisme. Pada 1912, SDI menjadi SI dan dalam waktu satu tahun saja, ia berkembang menjadi gerakan dengan cakupan nasional berkat dukungan kelas terpelajar dan kepemimpinan tradisional Islam.

Potensi gerakan politik inilah yang membuat Soeharto memisahkan diri dengan Islam yang waktu itu masih begitu kuat. Sementara dengan saudagar Tionghoa, Soeharto dapat mengambil upeti apa dan kapan saja. Sistem konglomerasi ini melahirkan sosok seperti The Kian Seng atau Bob Hasan dan tentunya Liem Siong Liong atau Sudono Salim yang namanya telah menjadi legenda Orde Baru, dan banyak lagi yang lainnya. Tulisan Yuri Sato, berjudul The Salim Group in Indonesia: The Development and Behavior of The Largest Conglomerate in Southeast Asia (1993), menyebutkan, Liem memulai bisnisnya yang bergerak di bidang ekspor-impor komoditi primer seperti kopi, karet dan kopra. Di tahun 1968, Liem mendapatkan lisensi untuk mengimpor cengkeh bersama dengan adik tiri Soeharto, Probosutedjo. Harga impor cengkeh dan harga jualnya di pasar domestik telah ditentukan oleh pemerintah sehingga lebih mahal daripada standar jual di pasar dunia, hal ini mengakibatkan Liem mendapatkan untung yang signifikan. Di interval tahun 1968-1970 saja misalnya, Liem memperoleh pendapatan US$ 340,000.

Siapa Berutang?

Artikel singkat ini memang tidak cukup untuk menjelaskan banyak hal seputar klaim diskriminasi suku bangsa Tionghoa saat ini. Jelaslah bila etnis Tionghoa tidak pada tempatnya lagi mengeluhkan selalu didiskriminasi karena sejarah sudah mewartakan justru mereka mendapat keuntungan terbesar dari politik kekuasaan.

Bila ini terus dilakukan, ini seperti propaganda holacoust yang terus dilontarkan oleh Yahudi-Israel hingga kini, yang bertujuan untuk membuat seluruh dunia merasa berhutang kepada bangsa Yahudi. Bangsa Indonesia jelas tidak punya utang secuil pun kepada etnis Tionghoa. (*)

2 thoughts on “Sandera Diskriminasi Tionghoa

  1. Memang sudah bukti kalau etnis tiongha itu lebih jago berdagang dan bisnis daripada etnis lain di indonesia… Orng indonesia asli mah jagonya korupsi! Urus dulu tuh yg korupsi! Baru ngomongin etnis!

    ras tionghoa paling unggul sedunia … 😉

    Like

  2. Walau artikelnya ditulis sudah cukup lama, sebagai seorang Tionghoa, saya tertarik untuk mengomentari. Kebetulan ini hari MInggu dan saya lagi senggang di rumah.

    Mudah2an komentar saya ini tidak dianggap sebagi bentuk penyerangan pribadi. Saya hanya ingin berdiskusi secara sehat dan mencoba membagi pemikiran mengenai masalah rasisme dan diskriminasi dalam kehidupan bangsa Indonesia dari sudut pandang saya yang juga kebetulan dilahirkan sebagai seorang TIonghoa di Indonesia.

    Ok, pertama, saya rasa pernyataan bahwa suku bangsa Tionghoa menjalankan sebuah propaganda dengan isu diskriminasi adalah sebuah pernyataan yang keliru. Kalau tidak bisa dibilang menyesatkan. Suku bangsa Tionghoa, seperti suku bangsa lainnya di Indonesia, bukanlah sebuah kesatuan monolitik yang mempunyai satu cara pandang, sikap, dan tujuan. Ada orang2 Tionghoa yang menyatakan bahwa diskriminasi masih ada, banyak pula yang menyatakan diskriminasi sudah hilang atau berkurang. Selebihnya mungkin tidak peduli atau tidak pernah memikirkan soal diskriminasi atau rasisme.

    Dalam bangsa suku Tionghoa, sama seperti suku bangsa lainnya, terdapat berbagai macam ragam perbedaan sudut pandang dalam menyikapi berbagai isu. Misalnya, ada orang2 Tionghoa yang tidak keberatan dengan istilah “Cina”, ada yang hanya mau dipanggil “Tionghoa”. Ada yang hanya mau bergabung dalam ormas atau partai politik Tionghoa, ada juga yang berkeinginan bergabung dalam ormas atau parpol mainstream. Banyak pula yang tidak mau masuk ormas ataupun parpol mana pun. Banyak orang Tionghoa yang sudah tidak bisa berbahasa TIonghoa (baik Mandarin maupun dialek lain), banyak pula yang masih bisa. Ada yang masih mempraktekkan budaya Tionghoa, ada yg sudah tidak. Banyak pula yang mempraktekkan campuran budaya Tionghoa dengan budaya lokal. Banyak orang Tionghoa yang tidak banyak bergaul secara erat dengan orang non Tionghoa. Banyak pula yang sebaliknya, sampai menikah dan seterusnya.

    Pernyataan bahwa perayaan Cap Goh Meh merupakan bukti dari adanya propaganda tersebut jugalah sebuah bukti yang saya rasa sangat lemah. Perayaan Cap Goh Meh yg dihadiri oleh pejabat2 negara haruslah dilihat sebagai upaya pemerintah untuk menunjukkan bahwa diskriminasi resmi yg dilindungi oleh undang undang sudahlah tidak ada di Indonesia ini. Apa tujuan akhir dari upaya ini? TIdak lain dan tidak bukan untuk menunjukkan kepada masyarakat Indonesia dan duniar luar bahwa pemerintah Indonesia yang sekarang bukanlah pemerintahan yang rasis.

    Bahwa benar Gus Dur sudah mengeluarkan Keppres No: 6 tahun 1999 dan bahwa benar SBY juga baru saja mencabut Keppres 1967 yang dikeluarkan Soeharto untuk menggantikan istilah TIonghoa dengan Cina. Namun jedua hal tersebut hanyalah merupakan bentuk dihapusnya diskriminasi politik resmi yang pernah dihadapi oleh suku bangsa Tionghoa. Sedangkan segala macam bentuk diskriminasi dan rasisme tidak resmi masihlah dapat kita temui dalam kehidupan sehari2 di dalam masyarakat Indonesia. Bahwa diskriminasi dan rasisme tidak resmi ini terjadi bukan hanya pada suku bangsa Tionghoa, namun juga terjadi pada dan antara suku suku bangsa lainnya di Indonesia. Hal ini tidak bisa kita pungkiri kebenarannya.

    Dan menurut saya semua itu adalah wajar. Jangankan Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, bahasa, dan keyakinan, bahkan dalam sebuah bangsa yang relatif homogen sekali pun masih bisa ditemukan diskriminasi, kalau tidak rasisme. Contohnya adalah diskriminasi terhadap keturunan Burakunin didalam masyarakat Jepang.

    Yang tidak wajar adalah apabila semua diskriminasi dan rasisme ini kemudian akhirnya berkembang sampai menjadi kerusuhan ataupun konflik horizontal antar suku bangsa maupun keyakinan yang pada akhirnya merugikan kita semua sebagai bangsa Indonesia. Itu yang sudah pernah terjadi berulang kali. Bukan hanya pada suku bangsa Tionghoa, namun juga pada suku bangsa Indonesia lain.

    Menurut saya, rasisme dan diskriminasi tidak resmi ini tidak akan bisa dihilangkan secara tuntas. Yang bisa dilakukan hanyalah menekan dampak negatifnya melalui pendidikan kebangsaan yang baik dan diskusi jujur terbuka untuk menghilangkan segala macam pemikiran, ide, dan prasangka keliru yang merupakan dasar dari rasisme dan diskriminasi. Indonesia pernah mengalami 32 tahun lamanya dimana ruang untuk diskusi terbuka itu ditutup secara represif atas nama stabilitas pembangunan dan diberi nama seram SARA. Itu kebijakan yang salah karena hanya menyimpan bara dalam sekam.

    Ok, mengenai pandangan bahwa suku bangsa Tionghoa lebih makmur dibanding suku bangsa lain di Indonesia saya tidak sepenuhnya yakin dengan kebenarannya. Apakah ada sebuah hasil penelitiian ilmiah yang bisa menunjukkan bukti atas kebenaran pandangan ini? Menurut saya tidak. Kalau pun penelitian seperti itu ada saya rasa sangat sulit dipertanggungjawabkan keilmiahannya.

    Keberadaan konglomerat2 Tionghoa menurut saya bukanlah sebuah bukti lebih tingginya tingkat kemakmuran suku Tionghoa Indonesia secara keseluruhan dibanding dengan tingkat kemakmuran suku bangsa Indonesia lainnya. Untuk setiap konglomerat Tionghoa, ada berapa Tionghoa yang termasuk kelas menengah atau bawah? Berapa rasionya?

    Jangan hanya melihat pada orang2 Tionghoa yang kemakmurannya kasat mata. Bagaimana dengan orang2 Tionghoa yang hidupnya tidak makmur dan melarat? Orang2 Tionghoa yang selama ini tidak kasat mata, hidup ditengah2 suku bangsa Indonesia lainnya. Yang tidak pernah diliput televisi, majalah, ataupun koran. Hanya mereka yang secara kasat mata makmur yang selalu diliput. Tidak heran kalau persepsi yang berkembang adalah semua orang Tionghoa itu makmur.

    Saya rasa sekian dulu. Komentar saya sudah lebih panjang dari artikel anda. Maaf, bukan bermaksud menggurui tapi saya cuma ingin bertukar pikiran. Kalau anda mau menanggapi saya akan komentar juga kedua bagian lain dari artikel anda.

    Terima kasih.

    Ini tulisan lama tentang hal yang sudah lama terjadi di Indonesia. Soal klaim diskriminasi itu disebutkan sendiri oleh tetua bangsa Cina dalam perayaan Cap Go Meh yang dihadiri presiden. Saya tertarik menulis ini setelah saya melihat acara tersebut di tayangan sebuah televisi di Indonesia. Saya kira sebagian komentar Anda pun menguatkan tentang klaim diskriminasi yang dirasakan bangsa Cina di sini. Saya tidak setuju diskriminasi dan rasisme, kepada siapapun dimanapun. Di negara Cina sendiri, masyarakat Cina Muslim, di antaranya di Uighur, mengalami diskriminasi yang menjijikkan. Soal kemakmuran bangsa Cina di Indonesia, Anda sudah menyatakan bilapun ada penelitian yang membuktikan itu, sulit dipertanggungjawabkan keilmiahannya. Kalau sudah begini, saya mau bilang apa lagi?
    Btw, thanks 4 comment.

    Like

Leave a comment