Untuk “Seorang” Bayi Berkepala Dua


Dia diberitakan wafat kemarin, Selasa 28 Juli 2009. Terhimpit di sesaknya pemberitaan mengenai gugatan Pilpres 2009 ke MK, kasus Flu Babi yang mengemuka dan pemboman JW Marriot/Ritz Carlton milik Amerika dan Eropa. Badrun nama ayahnya, Nurhayati disematkan pada ibunya. Mereka berdua mengaku, sudah menginginkan bayi itu sejak sembilan tahun lamanya. Belum sempat mereka memberi nama, bayi itu telah ditimang Sang Maha Kuasa.

Beruntunglah mereka. Sejatinya, mereka diberikan dua anak sekaligus, dua kepala dalam satu tubuh. Dua kepala manusia itu bersatu, berdempet erat, berpeluk di sebuah ruang yang penuh kasih sayang, ruang yang jauh dari kemunafikan dan suci dari segala kebohongan; jantung dan hati. Seolah-olah tak ingin mereka berpisah walau hidung telah menghirup bumi.

Mereka hanya sempat mencicipi sebentar luapan kerinduan ayah dan bunda. Nantinya, mereka pastilah tak perlu merengek menghamba susu dari ibunya. Mereka tahu, ibunya tak akan ragu untuk bangun jam berapa pun, setiap harinya setiap malamnya. Darah ibunya adalah susu bagi mereka. Mereka juga mafhum, ayah mereka, Badrun, akan selalu melangkahkan kakinya mencari rezeki dalam hamparan luasnya dunia.

Secercah senyum ketika mengandung, seulas kejut saat terlahir, setitik hasrat kala dirawat, bercampur-campur kala tangan Izrail datang menjulur.

* * *

Oh… kekuasaan yang dipertontonkan langit ini begitu tragisnya. Bercemoohlah mungkin orang-orang, mengapa Tuhan sampai hati memberi tontonan yang serupa itu. Apalah sulitnya Tuhan yang maha sempurna itu, memberi kesempurnaan bagi kedua bayi dan bagi kedua anak manusia bernama Nurhayati dan Badrun itu. Orang-orang mungkin beranggapan, kemahakuasaan Tuhan tak perlu diperlihatkan dengan menunjukkan kelemahan dari yang dicipta. Kekuatan dan kekuasaan tak perlu dibentuk oleh rengekan dan mengemis-ngemis perhatian dan simpati dari sebuah kisah tragis. Benarkah Tuhan sudah semanja itu?

Tuhan, kau sungguh jauh sekaligus sungguh dekat dengan prasangka-prasangka. Kau pun mafhum itu. Kau katakan, aku dekat dengan prasangka hambaku. Kau serahkan penilaian terhadap dirimu, kepada setiap-tiap manusia. Kau pun tak marah, ketika ada yang mengatakan, Tuhan yang seperti itu ibarat hasil pahatan karya manusia, ibarat hasil glasir seonggok tanah liat. Kau pun tak murka, ketika ada yang merasa tak puas dengan Tuhan yang hanya bisa membisu. “Kami perlu Tuhan yang mau diajak berdialog,” kata mereka.

Tuhan, Dia, membebaskan semua manusia berpandang apapun kepadanya, karena ukuran yang ada padanya, bukanlah seperti ukuran yang ada pada manusia. Kalau saya marah, kemudian mendamprat dan memukul teman saya, maka boleh jadi, marahnya Tuhan tidak seperti itu. Seperti apa?

Dunia ketuhanan adalah dunia yang manusia sama sekali tidak mengetahui apapun soal itu. Ini bukan masalah pintu untuk ke sana sudah ditutup atau tidak. Tapi karena dia sudah berdiri dan hidup di sebuah tempat yang manusia sama sekali tak ada petunjuk soal itu. Muhammad pun harus menghadapi hijab saat “berhadap-hadapan” dengan Tuhan.

Ada yang mengatakan soal ‘Arsy. Beberapa pandangan mengatakan, dia seperti balairung istana dan di sanalah tempat kerajaan dan singgasana Tuhan. Itu masalah kontekstual. Saya menduga, prasangka yang seperti itu – kerajaan-raja-istana-singgasana – ini tumbuh dalam alam pikiran manusia yang berkembang di mana konsep kerajaan sebagai sumbu kekuatan menjadi utama. Boleh jadi, pemikiran Comte dan kubu “evolutif” ada benarnya. Mulai dari “Tuhan” yang berbentuk sesembahan pada api, gunung, dewa-dewa, sampai pada yang tak berbentuk atau malah “atheis” sama sekali.

Pemikir Islam modern, seperti Arqoun ataupun Fazlur Rahman, sejauh yang saya pahami, punya pandangan yang berbeda. Strukturalisme bahasa dan dekonstruksi dalam satu sisi, membabat habis konteks. Alasan ini ada benarnya dan ada manfaatnya. Tuhan menjadi bersih dari prasangka-prasangka.

Ada pandangan radikal yang menyebutkan, perbedaan paham soal keislaman dan Tuhan, disebabkan prasangka-prasangka itu telah berkembang liar sementara “zat Tuhan” itu aman-aman saja alias tak tersentuh. Malah, keliaran dari prasangka itu, membuat Tuhan kian tertutup, makin kisruh, kabur hingga tak terbaca sama sekali.

Dalam perspektif “kemajuan” Islam, kesalahan demi kesalahan itu menjadi pokok utama dari kemunduran Islam di zaman modern. Sementara di belahan bumi yang lain, seperti Eropa, justru sudah berabad-abad menyatakan “talak” kepada dominasi agama (sebuah perangkat struktur dalam perbincangan soal Ketuhanan). Renaissance yang berarti masa pencerahan, justru dimulai dengan meminimalisir sebesar-besarnya, peran gereja dalam perubahan sosial, intelektual, kebudayaan dan peradaban. Di sana berkembang humanisme, rasionalisme, idealisme dan isme-isme yang lain yang keluar secara massif laksana gairah yang telah lama disumbat.

Agama memang tak bisa dikikis habis oleh “atheisme” (yang pada dasarnya hidup berdampingan sejak konsep “Tuhan” itu ada di benak manusia). Apalagi, konsep atheisme itu pun secara tak langsung tak mampu menghapuskan Tuhan. Kalau atheisme berani main total football, maka seharusnya perbincangan soal “theos” sudah tak muncul lagi di sana. Copernicus, Galileo Galilei hingga Leonardo Da Vinci yang lahir dari rahim Eropa pun dikatakan masih tetap seorang Katolik. Michael Angelo, toh, melukis dengan sangat indah plafon-plafon gereja.

Namun ada juga yang berpandangan, sikap yang demikian justru membuat Tuhan dan agama hanya dipenuhi ritual-ritual “pembebasan dosa-dosa manusia” saja. Agama dan Tuhan menjadi sedemikian dikotomis sekaligus menyeramkan. Agama lantas hanya dipenuhi “surga dan neraka”, reward and punishment, pahala dan dosa, nikmat dan siksa. Karena kalau agama bicara sosial politik, maka kecurigaan akan langsung muncul. Sejarah lalu dipertontonkan betapa hubungan agama dan kekuasaan selalu berlumuran darah. Agama kemudian jatuh ke level “terapi psikologis” di mana dia menjadi tempat manusia untuk tetap merasa tenang, setelah membenamkan diri dalam riuhnya kehidupan dunia. Agama dan Tuhan lantas cepat sekali diidentikkan dengan ketakberdayaan, ratapan dan linangan air mata.

* * *

Anak bukanlah permata
Intan berlian entah di mana
Mereka bilang itu cinta
Aku kata itu Dia

(*)

(Kepada Badrun dan Nurhayati
Tuhan telah sangat sayang kepada kalian
Satu kepala menunjuk Ar-Rahman, satu kepala menunjuk Ar-Rahim
Semoga dilimpahi keselamatan dan kemurahan rezeki.)

5 thoughts on “Untuk “Seorang” Bayi Berkepala Dua

  1. Salam Cinta Damai dan Kasih Sayang ‘tuk sahabatku yang terchayaaaank

    Sangat bermakna dan dalam sekali.. semangaaaaaaaaat

    sip. tks. 🙂

    Like

  2. dimana Tuhan ketika meminta…dimana Tuhan ketika menghamba…dimana Tuhan ketika kepala hanya mampu tertunduk..

    dimana…?

    Like

  3. aku tertunduk kaku…. nisfu sa’ban katanya pergantian buku….. aku ingin tau catatan itu karena aku pelupa berapa amal sholeh yang telah diperbuat tetapi juga berapa kesalahan yang telah aku lakukan…. semoga rakhmat Tuhan selalu menemani kita….

    trms teman alur ceritanya selalu mendayu kalbu dari masalah politik sampai hati tak berkutik… ada yang mengkeritik sampai ada yang memuji…. teruslah berkarya…. aku selalu disampingmu (emang gua istrinya heheheheh)

    salam
    kades

    thanks pak kades. yg di samping tak selalu istri, tp mgk saja para malaikat. 🙂

    Like

Leave a comment