Negara Islam Tidak Haram


Justru adalah hal aneh kalau dikatakan Islam sampai mengatur soal hal-hal paling pribadi seperti tata cara mandi wajib maupun istinja’,  namun alpa terhadap hal-hal besar seperti kekuasaan dan negara.

* * *

Baru kemarin, Ketua Dewan Transisi Nasional (NTC) Libya, Mustafa Abdul Jalil, dalam pidato pertamanya sejak pindah ke Tripoli dari daerah kekuasaan NTC di Benghazi, menyatakan Libya baru akan berbasis hukum Islam. Terlepas dari peran North Atlantic Treaty Organization (NATO) yang begitu kentara dalam melengserkan Moammar Khaddafi, Islam yang dipilih sebagai asas negara Libya baru itu seakan menahbiskan peran agama dalam abad millenium ini.

Abad ini sering disebut sebagai suatu masa di mana peran agama akan berada di persimpangan jalan; tersingkir atau malah menguat. Sejarah sudah mewartakan kalau agama punya peran yang luar biasa dalam suatu rentang perjalanan umat manusia di dunia. Bahkan, sejarah dunia sering digambarkan sebagai pertarungan antara agama –di mana nabi mengambil perannya–  dan kekuasaan tirani. Ibrahim dengan Namrudz, Musa dengan Fir-aun, hingga Isa dan Muhammad dengan tirani kekuasaan lokal.

Bukan tak ada pula peran nabi yang digambarkan sebagai pemegang tampuk kekuasaan tertinggi. Sulaiman, literatur Eropa menyebutnya dengan Solomon, adalah seorang yang berfungsi ganda, sebagai utusan Tuhan juga sebagai raja. Duduknya dua peran dalam satu orang itu, mesti dipahami sebagai salah satu argumen bahwa dalam sejarah agama dunia, terutama Islam, perbincangan mengenai Negara Agama bahkan sudah sampai pada tahap institusional bukan sekedar wacana yang tak ada ujungnya. Juga tak bisa diluputkan adalah, naiknya Sulaiman ke puncak kekuasaan itu telah dimulai dari pertarungan antara ayahnya, Daud, dengan tirani waktu itu. Hal ini memang berlainan dengan masa Ibrahim dan Musa, di mana berakhirnya konflik antara nabi dengan kekuasaan tidak diakhiri dengan naiknya Ibrahim dan Musa ke pucuk kekuasaan.

Secara tekstual, Alquran memang tidak menawarkan suatu bentuk negara konkrit dari konsep Negara Islam dan juga tidak melarang hal tersebut. Namun, Muhammad sebagai khatam al-anbiya menawarkan opsi lain. Posisi Muhammad sebagai pemimpin umat waktu itu tidak bisa dengan serta-merta ditepiskan begitu saja oleh mereka-mereka yang berusaha keras untuk menyelidiki hubungan Islam dan negara. Muhammad bukanlah seorang pemimpin komunitas semata melainkan masyarakat yang heterogen. Bila diukur dengan ilmu politik masa kini, maka setidaknya unsur adanya rakyat, wilayah, pemerintahan (hukum) dan pengakuan dari negara asing, sudah terpenuhi dengan lengkap. Kalaupun pasca Muhammad wafat ada semacam perubahan-perubahan dalam menentukan kepemimpinan –khalifah dalam teks Sunni dan Imamah dalam teks Shiah- maka hal itu tak lebih dinamika politik tata negara semata.

Dalam tolok ukur modern, maka naiknya Muhammad ke puncak kekuasaan Arabia juga dimulai dengan perebutan kekuasaan dan bukannya diberi atau hibah. Eksistensinya kemudian diakui oleh Romawi dan Persia, dua negara adikuasa waktu itu. Pun, kekuasaan yang dipegangnya bukanlah semata sebagai wali negara dalam bidang agama, melainkan juga politik, sosial, ekonomi, budaya, pertahanan, dan seterusnya. Hukum Islam yang diterapkan Muhammad waktu itu, juga mengatur hubungan antara kaum Yahudi, Nasrani, dan kelompok agama lain yang tidak hanya ada di Madinah dan Mekkah, namun juga di wilayah lainnya. Hal ini sebenarnya sudah menjadi bukti shahih yang dapat disodorkan pada kaum sekuler yang menyatakan bahwa antara Islam dan negara harus dipisahkan. Persoalan teks Alquran tak menyebut dengan eksplisit soal bentuk dan sistem negara, juga bisa ditampik dengan kaidah sistem hukum Islam yang menyebutkan bahwa apa yang dilakukan Muhammad merupakan hukum tertinggi yang berdampingan dengan Alquran. Yang dilakukan Muhammad adalah tafsir mutlak dari perintah Allah dan Alquran.

Dengan demikian, adalah hal aneh bila hipotesis sekuleristik diterapkan ketika melihat peran Muhammad ketika itu. Karena bila itu diajukan maka pertanyaan susulan yang harus dijawab adalah “bila Muhammad hanya menjadi pemimpin agama, siapakah pemimpin politik negara waktu itu?”

Praktek diplomatik dan ekspansi politik kepada wilayah negara lain yang dilakukan Muhammad, juga menjadi petunjuk kalau Muhammad tidak sekedar menginginkan Islam sebagai aturan etik moral semata bagi manusia.

Hanya saja, secara jeli kita harus membedakan tipe ekspansi Muhammad ini dengan yang dilakukan oleh negara-negara Eropa di kemudian hari (seperti Inggris, Perancis, Portugis, Jerman dan seterusnya) dengan adagium gold, gospel and glory­-nya. Bedanya, Muhammad sama sekali tidak diceritakan sedang mengincar sumber-sumber daya ekonomi. Bahkan sebaliknya, ekspansi kekuasaan Muhammad ditegakkan justru dalam kerangka pembebasan wilayah-wilayah jajahan Romawi dan Persia. Diterimanya Islam lebih dikarenakan karena Muhammad tidaklah sedang memerangi warga setempat, melainkan tirani adikuasa yang sedang berkuasa di tempat itu.

Argumen ini menjadi dasar substantif, bahwa Islam bukanlah agama utopis, bukanlah sebuah agama yang hanya diperuntukkan untuk mengatur soal-soal seperti perkawinan, tata cara wudhu sampai istinja’ (bersuci) semata. Justru adalah hal aneh kalau dikatakan Islam sampai mengatur soal hal-hal paling pribadi seperti tata cara mandi wajib maupun istinja’,  namun alpa terhadap hal-hal besar seperti kekuasaan dan negara.

Konteks Kenegaraan

Sering sekali ketika berusaha menyelidiki Alquran dalam konteks kenegaraan, berakhir pada konklusi bahwa Alquran merupakan sumber etik moral politik Islam dari kekuasaan namun tidak mengatur secara eksplisit mengenai kekuasaan itu sendiri. Dalam bukunya Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta (1995), M. Amien Rais menyatakan, “Jika umpamanya ada perintah tegas untuk mendirikan negara Islam, maka al-Qur’an dan Sunnah juga akan memberikan tuntunan terinci  tentang struktur institusi-institusi negara yang dimaksudkan.… Bila demikian halnya, maka negara Islam itu tidak akan tahan zaman.”

Bukan berarti Amien lantas setuju dengan sekulerisme. Amien melanjutkan, tidak berarti lantas kaum muslimin diperkenankan membangun negara sesuai dengan kemauan manusiawinya sendiri, dan terlepas dari ajaran-ajaran pokok agama Islam. Bagi Amien, membangun suatu negara yang terlepas dari fundamen ajaran Islam berarti membangun negara yang sekularistis, yang kehilangan dimensi spiritual dan menjurus pada kehidupan yang serba-material.

Adanya term khalifah dan imamah secara eksplisit dalam Alquran, juga menandakan konsep Negara Islam justru bukan menjadi hal terlarang alias haram sama sekali. Hal ini pula yang sering diabaikan oleh mereka yang tidak setuju dengan konsep negara Islam. Adapun argumentasi sejarah mengenai seringnya Islam dijadikan sebagai pembenar bagi ulah elit politik Islam yang mungkar, justru bukan menjadikan sebab awalnya (negara Islam itu sendiri) menjadi tiada. Karena kalau itu diberlakukan, itu seperti kita juga ingin memusnahkan pisau dapur karena telah digunakan untuk membunuh. Monarki di Arab Saudi, Kuwait dan negara-negara lain di Timur Tengah memang belum bisa dijadikan sandaran bahwa itulah konsep negara Islam seperti yang diinginkan Muhammad.

Adalah hal wajar dan sudah seharusnya bila Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila sama sekali tidak memberikan tempat bagi berdirinya Negara Islam di Indonesia. Hukum positif mesti ditaati dan umat Islam harus menghargai pendirian itu. Namun, menghapus pemikiran itu dari benak orang-orang Islam di Indonesia justru adalah hal aneh dan tak pada tempatnya. Toh, dia bukanlah hal haram. (*)

6 thoughts on “Negara Islam Tidak Haram

  1. pagi ini seorang kandidat doktor yg akan menulis tentang politik Islam datang berdiskusi ke rumah. saya anjurkan ia baca tulisan ini.

    makasih pak. 😉

    Like

  2. Bang izin copas total 100 % yah … maksa klo ngak di izikan jua he he he .. (lagie buntu update blog uy !!)

    Hatur tararengkyu sebelumnyah 😛

    lanjutkan kopral 😉 😀

    Like

  3. Assalamu’alaikum
    Sdr Iwan Panjaitan, saya penulis buku “Manhaj Bernegara dalam Haji”; Kajian Sirah Nabawi di Indonesia.
    dalam rangka “Memperingati 100 tahun Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII 1911-2011). buku tsb baru beredar bulan Nop’2011 ini dipasaran, kalau anda ada waktu dan kesempatan silahkan mampir di mediamadania.wordpress.com/…/pendahuluan-bu..
    dan…
    kalau anda berminat? akan saya kirimkan satu naskah percuma.
    Itupun kalau anda suka menghubungi saya via PM di email.
    Salam kenal
    dan terima kasih.
    Wassalam

    Walaikumsalam wa Rahmah

    Mencipta buku seperti juga implementasi daya kreasi Tuhan; mencipta Alquran. Terimakasih atas info, kunjungan dan komen di sini. Tentulah saya sangat berminat untuk membaca buku baru yang dikeluarkan Media Madani, apalagi gratis, hehehe 😉 😀 Saya akan e-mail langsung, 😀

    Like

Leave a comment