Jalan-Jalan ke Danau Toba (Dulu Kala)


“Duh, duh, aduh, Jamilah. Jamilah kau gadis ayu. Malam minggu kau kutunggu. Abang sungguh tak sabar menunggu …”

Syair lagu pop dengan beat house music menghentak di dalam angkutan kota Samosir Tour yang saya naiki. Saya tersenyum saja. Soalnya, saya kira lagu yang akan didengar di angkot itu lagu batak. Ternyata, lagu yang biasa kita jumpai di kota manapun. Ketika supir angkot, Dolter Siagian, ditanya, dia pun cuma mesem. “Biasa lah, Bang, namanya supir,” katanya.

Saya berpikir, persoalan ini tidak sesederhana kelihatannya. Mungkin Pulau Samosir yang sering disebut-sebut daerah “terisolir”, tidak seperti bayangan orang. Sudah ada akulturasi budaya yang, mungkin, cukup dalam. Penerimaan lagu “Jamilah”, yang lebih ber-“konotasi” Melayu, yang diputar dalam pergaulan sehari-hari para supir, yang sering dikatakan “orang pasaran”, sedikit-sedikit, sudah berdampingan dengan lagu-lagu berbahasa Batak. Memang, peran pariwisata tidak bisa dielakkan menjadi faktor utama akulturasi tersebut. Apalagi, sebagian orang yang tinggal di Samosir, juga tidak lagi penduduk yang lahir di sana alias “pendatang”.

Ketika saya mendengar tuturan Siagian, asumsi saya seperti mendapat “pembenaran”. “Dulu aku nyupir di Jakarta. Tinggal di Bekasi bersama kakak,” kata Siagian, dengan logat batak yang lengket-lengket dengan logat Betawi. Katanya, ia diajak temannya untuk nyupir di Samosir. Ia sendiri lahir di Tebing Tinggi.

Dugaan lain ketika melihat struktur bangunan rumah di sepanjang jalan di Pulau Samosir. Kalau di Tomok, sebagai titik mulai perjalanan, maka perumahan tidak jauh beda. Kemungkinannya karena ini daerah pelabuhan. Tapi memasuki Kampung Ambarita, maka perubahan suasana mulai terasa. Alam tradisional dan pedesaan akan menyambut. Mulai dari hamparan sawah di kaki bukit, tepat di pinggir Danau Toba, sampai lapak-lapak tuak dan rumah-rumah tradisional menjadi pandangan mata kami.

Ada beberapa objek wisata yang dilewati seperti Batu Parsidangan, dan beberapa museum, seperti museum Hutabolon dan Gok Asi. Namun, satu yang pasti, di pesisir Pulau Samosir, Anda tidak akan kebingungan mencari penginapan. Soalnya, di pesisir itu berjejer dalam jarak tertentu, hotel-hotel dan penginapan seperti Hotel Sanggam, King’s Guest House, dan seterusnya.

Nah, struktur rumah yang saya katakan tadi, sebenarnya sudah bisa dilihat ketika memasuki Kampung Ambarita. Tapi, pandangan “tradisional sosiologis” itu lebih banyak didapati setelah melewati Tolping, di mana perjalanan sudah mulai agak mendaki dan berliku. Perumahan tradisional mulai banyak terhampar. Bentuknya, memang mirip bentuk rumah di Tana Toraja. Yang spesial ada pada bentuk atap dan ruangan dalam. Atapnya lebih seperti perahu. Hanya ada satu pintu masuk, di atas tangga. Artinya, itu masuk klasifikasi rumah panggung. Di bawahnya, kebanyakan digunakan sebagai tempat penyimpanan hasil pertanian dan terkadang ternak, seperti babi.

Akulturasi dan pergeseran budaya, tadi mulai kelihatan jelas. Saya melihat beberapa rumah yang menerangkan hal itu. Misalnya, satu rumah adat batak, di sampingnya rumah yang bentuk atapnya sama namun dindingnya batu dan tidak berbentuk rumah panggung lagi. Sementara di sebelahnya, bentuk rumah sudah seperti kebanyakan kita lihat di kota.

Saya sendiri, sejak berangkat dari Medan, tidak banyak membayangkan apa yang akan saya temui di Parapat. Apalagi, tugas dari kantor di Medan, tema-nya cukup “berat”, kerusakan lingkungan Danau Toba. Nah, dengan beban liputan seperti ini, di kepala saya sebenarnya tidak terbayangkan sebuah perjalanan wisata. Di benak saya selalu mengetuk-ngetuk bunyi begini: rusak, limbah, kacau, kotor, jijik dan seterusnya. Kenyataannya? Yah, ternyata memang begitu. Danau Toba memang sedang “sakit”.

Tapi sungguh, siapa pun bakal miris melihat Danau Toba. Sedikit banyak saya terhenyuh. Maklum, paling tidak dalam darah ini juga mengalir darah Batak.

* * *

Kembali ke angkot, mulanya kami agak menunggu lama di Tomok, Samosir. Pasalnya, menurut mandor angkot di sana, ketika kami baru turun dari ferri, angkot menuju Pangururan sudah berangkat. Itu artinya, setengah jam lagi kami harus menunggu angkot yang ngetem menunggu penumpang. Tapi tak apalah.

Untunglah, si Dolter tadi berbaik hati. Rupanya ia juga akan berangkat namun harus makan siang dulu. Setelah dia makan, jadilah penumpangnya hanya saya, rekan saya dan seorang “ompung” -sebutan untuk orang tua seperti nenek atau kakek- di belakang.

Kami berdua sudah dapat kabar dari sumber yang akan kami datangi di Parurungan tentang ongkos. Tapi untuk lebih memastikan saya tanya ompung di belakang saya. Kebetulan supirnya masih di luar. “Onom ribu,” kata ompung yang gigi dan bibirnya berwarna merah akibat sirih. Saya pun mengangguk, puas.

Tak lama, ompung itu mengajak saya berbicara. “Tu dia ho (mau ke mana kau),” tanyanya. Saya jawab, “Ke Parurungan”. Kemudian dia menyambung lagi. Kali ini agak panjang. Dia bertanya marga kami dan mengapa kami ke Parurungan. Ya, saya jawab dengan bahasa Batak sekadarnya. Dia pun senang, karena kami berdua masih orang Batak dan dari Medan pula.

Ompung itu rupanya suka bicara. Dia mengobrol panjang, lebar dan cepat. Saya pun akhirnya menyerah. Kosakata Batak saya tidak mampu mencerna lagi. Akhirnya saya bilang, “Pung, aku ini lahir di Medan, jadi aku nggak lancar bahasa Batak”. Dia tertawa.

Mendengar tawa ompung itu, imej saya tentang kekasaran orang Batak langsung sirna di bawa angin. Saya merasa saya sudah bersifat tidak adil, terjebak steorotif. Akibat steorotif itu, prasangka saya muncul, bahwa orang Batak itu betul-betul kasar. Mungkin saya lebih memandang orang Batak dari penglihatan luarnya saja. Ketika saya bertemu para supir dan kernet di terminal-terminal, yang memang kebanyakan orang Batak, steorotif itu memang tidak terbantahkan. Intonasi yang berat, keras, dan kasar, bahkan ketika berbicara cenderung menghardik, dulu saya artikan sebagai perwakilan atas sikap, pandangan hidup, sifat, sampai perilakunya.

Tapi saya pikir kemudian, mungkin itu lebih karena situasi dan kondisi tempat. Kehidupan di terminal dan jalanan cenderung lebih keras. Strategi survival (mempertahankan hidup) lebih tinggi. Saya ingat dosen Sosiologi saya pernah bilang bahwa survival itu sebagai karakteristik paling nyata tentang masyarakat marjinal. Ini masyarakat yang terpinggirkan, baik secara ekonomi, sosial politik, dan budaya. Mereka cenderung berpikir pendek. Masa depan adalah hari ini. Analoginya, “Masyarakat marjinal adalah masyarakat yang sedang tenggelam di air dan air itu sudah setnggi mulut. Artinya, ia akan berbuat apa pun supaya air itu tidak masuk ke dalam hidungnya,” kata dosen saya yang terngiang-ngiang di kepala. Dan, kesan inilah yang tampak kepada mayoritas orang Batak di kota-kota. Itu melekat terus, sampai saya sampai di daerah asal muasal orang Batak.

Siunjur Mula-mula, itulah kata orang yang kami temui di Pangururan. Marganya Naibaho. Sedikit mengenai marga, orang Batak lebih suka dan biasa dipanggil dari marganya. Ia punya nama depan, tapi itu barangkali hanya untuk administrasi pemerintahan dan pembeda saja dengan orang lain yang bermarga sama. Orang Batak lebih suka dipanggil nama keluarganya. Itu harta paling bernilai bagi orang Batak, nama keluarga. Bahkan, bila orang “luar” ingin memakai suatu marga, mesti ada upacara khusus. Apalagi misalnya dalam perkawinan. Bila seseorang bermaksud atau hendak memakai marga tertentu maka biasanya, minimal, ia harus menyembelih seekor kerbau. Paling tidak, itulah “harga” yang harus ia keluarkan untuk sebuah marga. Menurut penelitian, saat ini ada kurang lebih 416 marga Batak.

Balik ke Siunjur Mula-mula, ini merupakan istilah tentang asal-muasal orang Batak. Tapi jangan silap, banyak versi mengenai ini. Nah, orang Batak terkenal dengan etos dan identitas pribadi dan kelompok yang sangat tinggi. Dosen saya menyebutkan ada stereotif lain mengenai hal ini. Stereotif ini mengatakan bahwa setiap marga orang Batak – dan rumpun-rumpunnya – akan selalu menganggap dirinya lebih tinggi dari marga lain. Secara tradisional, posisi itu akan membuat posisi politik dan budayanya lebih tinggi dari marga lain.

Dan karena marga lain juga merasa begitu, maka marga lain pun mengembangkan tradisi serupa. Akhirnya, setiap marga akan mempunya Huta (rumah) sendiri. Huta ini sendiri lebih bermakna sosiologis politik. Ia semacam daerah kekuasaan yang berdiri sendiri.

Karena itu pemimpin di satu Huta, biasanya dianggap “raja”. Namun, pengertian raja di orang Batak tidak bisa disamakan dengan pengertian raja menurut kamus bahasa Indonesia ataupun pengertian kesultanan Jawa. Raja bagi batak adalah menurut masing-masing marga. Jangan coba-coba menerapkan “kerajaan” Anda ke marga lain, karena marga lain pun punya “raja”. Pun, ia tidak bisa dianggap sekedar seperti “kepala desa”. Karena, ia tidak punya struktur politik di atasnya. Itulah makanya, beberapa peneliti pernah menyebutkan, bahwa sifat otonomi dari orang Batak sudah diletakkan dari dulu.

Selain itu, adat Batak juga demokratis, misalnya dalam prinsip Dalihan Na Tolu. Dengan ini, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. Suatu saat Anda bisa berstatus sebagai „Hula“ (setingkat ibu atau ayah), Lae (sejajar, setingkat) dan di saat yang lain Anda juga bisa „turun pangkat“ jadi „boru“ (setingkat anak). Oh, ada juga secara sosilogis istilah Panggonggomi, yang berarti yang mengatur, melayani, membimbing. Sekarang, ini merupakan predikat yang diberikan kepada pemerintah.

Itu dulu lah. (*)

(Medan, Maret 2005)

6 thoughts on “Jalan-Jalan ke Danau Toba (Dulu Kala)

  1. Kini Samosir akan mencari seorang Bupati, begitu juga Tobasa. Belum ada yang sadar (di antara para bupati yang pernah menguasai wilayah ini dari dulu) bahwa Danau Toba itu asset besar yang menghidupi, bahkan dapat memakmurkan. Semua orang bersikap seperti lagu Batak:

    O tao Toba
    Raja ni sude na tao

    (Duh danau Toba
    Tempat terindah di antara danau yang pernah ada di dunia)

    Atau lagu lain yang mengulas tentang lezatnya ikan danau dimatangkan dalam larutan asam (dengke na niura).

    Fasilitas dan aksesibilitasnya sangat minim. Kelestarian? Nah enceng gondok itu jawabannya.

    Ini mungkin lebih pada persoalan nilai budaya.

    nbasis memang pantas untuk disegani. 🙂

    Like

Leave a comment