Dua Jenderal


soeharto-dan-soekarno

Hanya ada dua jenderal besar di negeri ini: Jenderal Besar Abdul Haris Nasution dan Jenderal Besar Soeharto. Yang pertama putra asli Tapanuli, kelahiran Hutapungkut, Kotanopan, Tapanuli Selatan dan yang satu lagi kelahiran Kemusuk, Yogyakarta.

Kalau latah, keduanya bisa dianggap sebagai poros kekuatan para jenderal, satu jenderal Jawa dan satu jenderal Batak. Kalau lebih latah lagi, keduanya laksana bandul kekuatan antara kekuatan politik pulau Jawa dan luar pulau Jawa (termasuk bagian Timur dan Barat). Nasib keduanya jauh berbeda, yang sama adalah kini keduanya telah almarhum.

Dengan latar belakang kelahiran yang berbeda, entah mengapa, keduanya juga digambarkan sejarah sebagai jenderal yang saling bertolak belakang. Jenderal Nasution adalah jenderal yang hendak dibunuh (dalam peristiwa G-30-S/PKI) dan sebaliknya, Jenderal Soeharto adalah sesosok militer yang disebut-sebut buku cerita sebagai jenderal “pembunuh” (mulanya berkembang pasca penumpasan G30-S/PKI juga).

Kita tidak sedang membicarakan pembunuhan yang dilakukan militer, karena salah satu modus kerjaan militer, ya, itu, membunuh. Tentu saja, pembunuhan yang dilakukan di luar koridor hukum dan peraturan militer, tidak ada dalam kamus militer. Malah-malah bisa diajukan ke mahkamah militer. Jadi, kalau ada militer yang membunuh di luar aturan, persoalannya bukan sekedar pelanggaran hak-hak asasi manusia semata, tapi juga melanggar peraturan paling dasar alias substansif dari korps militer sejak zaman dulu kala dan di manapun itu.

Dalam buku Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5, AH Nasution yang sering dipanggil Pak Nas itu, mengungkapkan bagaimana sebenarnya seharusnya sikap seorang yang bertugas di militer dalam “pembunuhan” itu. Suatu saat, TNI berhasil meredam pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Kartosoewirjo. Memang, sang pentolannya, Kartosoewirjo belum tertangkap. Di dalam rapat kabinet yang juga dihadiri Pemimpin Besar Revolusi, Soekarno, terjadi kericuhan. Banyak yang beranggapan, terutama dari golongan komunis (menurut Nasution dalam bukunya itu, DN Aidit, Ketua PKI juga hadir dalam pertemuan itu), meminta agar seluruh anggota DI/TII dihabisi saja. Kata-kata “habisi” sudah pasti bermakna dibunuh.

Mereka beralasan, karena hal itu adalah pemberontakan yang bermakna makar atau ingin memisahkan diri dari negara kesatuan RI, maka hukuman itu akan memberi efek jera kepada pelaku maupun mereka-mereka yang punya pikiran ke arah itu. Sebagai Menhankam yang mengomandoi seluruh kesatuan TNI dan pertahanan negara, Nasution menjadi sasaran permintaan itu. Namun, sampai panas pembicaraan, Nasution belum juga memberikan pendapatnya dan menanggapi secara langsung. Barulah ketika tiba giliran dia berbicara, Nasution ternyata tidak berbicara dengan ciri khas militer; meletup-letup penuh gaya doktrinasi dan instruksi.

“Selama saya bertugas di TNI, saya mendidik anak buah saya dengan sikap ksatria. Orang yang sudah kalah, jangan lagi diludahi,” kata dia. Pelan tapi tegas.

Sontak, ruangan rapat menjadi hening dan tak ada yang membantah dan ingin mendebat. Rapat lalu dilanjutkan. Keputusannya adalah para pemberontak harus dihukum namun dengan landasan mereka diminta untuk pulang ke pangkuan ibu pertiwi. Itu pula yang disampaikan TNI kepada pentolan DI/TII Jawa Barat, Kartosoewirjo; kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Kartosoewirjo menolak, melawan dan dia kemudian harus mati.

Pasca rapat itu, diceritakan oleh Nasution, DN Aidit mendatangi dia dan kemudian memberi semacam klarifikasi. Menurut Nasution, DN Aidit dan teman-temannya yang lain merasa tertohok dengan kata “ksatria” yang ditekankan Nasution.

Perbedaan pandang ideologi dan konflik yang terjadi antara TNI-AD dan PKI membuat DN Aidit dan Nasution, kemudian bertemu di arena “pembunuhan” lainnya; peristiwa 1 Oktober. Untuk menggapai kekuasaan di Indonesia, Nasution sebagai pemimpin tertinggi militer (posisinya hanya bisa dilewati oleh Presiden Soekarno sebagai panglima tertinggi militer), memang “harus” dibunuh oleh DN Aidit. Aidit telah melakukan apa yang harus dilakukannya untuk menguasai perpolitikan Indonesia.

Saya yakin, bila Nasution terbunuh dalam peristiwa 1 Oktober itu, maka Soekarno pun akan masuk daftar pembunuhan juga. Ini cerita soal kekuasaan dan teori yang paling “realistis” untuk merebut kekuasaan, di manapun itu, adalah machiavelisme. Pasca pemakaian metode machiavelis, maka pekerjaan selanjutnya adalah menerapkan apa yang sudah dilakukan oleh Kaisar Perancis sebelum revolusi Perancis abad 18, Louis XIV, yaitu L’etat c’est moi; negara adalah aku, aku adalah negara.

Para penganut paham Machiavelisme sudah pasti paham, pengambilan kekuasaan tidak masuk dalam kerangka “halal-haram” sehingga kalimat “penghalalan segala cara” sebenarnya tidak tepat. Inti machiavelisme adalah semua harus dilakukan (baik buruk maupun jelek, sah atau tidak sah) untuk merebut, mempertahankan dan memperluas kekuasaan. Jadi apa yang dilakukan Aidit adalah dalam kerangka itu; semua cara harus dilakukan.

Puji bagi Allah, Nasution tidak terbunuh dalam peristiwa 1 Oktober. Secara fisik, Aidit justru yang harus mati. Itu akibat, datangnya seorang jenderal baru, yang secara “tiba-tiba” dan legal, mengambil alih semua yang harus dilakukan atau dalam bahasa Supersemar “mengambil segala tindakan yang dianggap perlu”, untuk mengembalikan situasi keamanan. Itulah landasan hukum bagi terbunuhnya Aidit dan hampir sebagian besar anggota dan kader PKI. Namun kemudian, efek ikutan dari Supersemar yang menjadi tonggak berdirinya sebuah masa yang disebut “orde baru”, justru juga menghantam balik Jenderal Nasution. Waktu itu, pasca menjabat sebagai Ketua MPRS, Nasution yang tergabung dalam barisan (di antaranya banyak para Jenderal) Petisi 50 dan menjalani hidup dalam sebuah masa yang diistilahkan oleh Letjend KKO Ali Sadikin (almarhum), matinya “hak-hak perdata” mereka para peneken petisi.

* * *

Aku adalah negara, adalah tabiat dari rezim Soeharto. Pengandaian diri sebagai satu-satunya sumber hukum yang membuatnya menjadi ruang terpisah dari hukum itu sendiri, menjadikan otorianisme, totaliterisme dan egosentrisme. Dia berbiak dari pandangan filsafat kenegaraan theokrasi. Seperti yang terjadi di zaman Mesir, Fir’aun mengandaikan dirinya sebagai tuhan ataupun wakil tuhan. Dia tidak berada di puncak piramid, tapi dia adalah “Ra”, dewa matahari, dewa tertinggi yang disembah rakyat Mesir. Itu maknanya, posisi Fir’aun ada setelah ujung puncak piramid; dia berada di luar piramid itu sendiri. Itulah sebabnya, Soeharto tidak bisa dijangkau oleh hukum, karena dialah pembuat hukum itu sendiri; persis sama seperti posisi Fir’aun itu dulu kala.

Maka begitu si jenderal ini bertitah, seluruh isi piramid akan berguncang dan harus melaksanakan kehendak si dewa ini. Si Jenderal ini sudah merasa sebagai “titisan” Tuhan dan kemudian bertindak sebagai pelaksana ketuhanan itu sendiri. Tak akan ada yang bisa membantah, karena hukumannya sudah jelas; membangkang pada tuhan, nerakalah tempatnya. Dus, orang-orang yang dikomando oleh para jenderal yang menyembah paham teokrasi dan fir’aunisme itu, adalah orang-orang yang sudah mati akal sehatnya. Mereka memandang si jenderal ini, seperti memandang “tuhan” mereka sendiri. Sesembahan dan sesajian terus dipanjatkan karena keterpanaan akan sosok sang jenderal yang diyakini mereka sebagai perlambang ketuhanan.

* * *

Dua orang jenderal ini, dulu, setiap tahunnya selalu saya tonton dalam film Pemberontakan G30-S/PKI karya sutradara Arifin C Noer (almarhum). Selalu terbayang-bayang, bagaimana Jenderal Nasution melompat pagar rumahnya. Bagaimana pidatonya saat penguburan jenderal-jenderal pahlawan revolusi, telah membuat saya merinding. Walau, selalu juga kening saya mengernyit, karena dalam film itu, begitu luar biasanya Soeharto mengerdilkan peran Jenderal Nasution dan jenderal-jenderal lainnya dalam sejarah revolusi di Indonesia ini.

Juga, dari film itu, melintas-lintas kekaguman atas sikap ksatria-nya (mendiang) Mayjend Donald Isaac Panjaitan ketika ditembak saat berdoa. Saya tak peduli, apakah kisah itu betul atau tidak, dikarang-karang atau bukan. Tapi bagi saya, Jenderal Panjaitan telah menunjukkan apa yang harus dilakukannya; bersumpah setia pada negara, dan juga bersumpah setia pada Tuhannya. DI Panjaitan adalah seorang jenderal kristen yang saya kagumi.

Saya mungkin tak terlalu mafhum soal riwayat hidup Jenderal Nasution dan Jenderal DI Panjaitan ini, dua di antara sedikit jenderal-jenderal yang telah dilahirkan bumi Tapanuli yang telah menunjukkan ksatriaannya pada negara. Ah, tapi di manakah kita bisa mendapatkan potongan-potongan sejarah yang benar di negeri ini? Sejarah, toh, tak lepas dari persepsi … (*)

25 thoughts on “Dua Jenderal

  1. Jadi posisi laetta Jenderal pemilik Media LAPAN ANAM dimana ?

    dia lagi di medan, nyusun gerakan hahahaha 😀

    Like

  2. kabar yang beredar ada jendral menelepon Kapolda sebelum demo maut Protap. Jendral mana itu mas ?

    Tergantung polisi, berani gak ngungkapinnya. media sudah rame kok menyiarkannya. 🙂

    Like

  3. Memang sulit membongkar fosil sejarah, jika kita tidak terlibat langsung. Meskipun kita terlibat langsung, tentu kita hanya bisa menceritakan sejarah menurut ‘selera’-ku.
    Buku-buku karangan Peter Dale Scott, Suar Suroso, John Perkins, John Pilger dan masih banyak lagi memberikan rasa yang berbeda dengan “agama” yang kita percaya melalui buku-buku sejarah era Sang Jenderal Besar Soeharto dimana Jenderal Besar AH Nasution bak ditelan bumi.

    nasution memang sengaja ditenggelamkan.

    Like

  4. yang pasti sejarah indonesia penuh misteri….
    banyak putra-putra terbaik bangsa yang disingkirkan oleh orang-orang licik dan haus kekuasaan…

    sampai sekarang belum muncul satupun tokoh yg bisa dipanuti.. seperti A.H Nasution hehehehhe…

    yg ada sekarang pemimpin bermodalkan nama besar keturunan dan kekayaan

    ayo buka terus sejarah indonesia… 🙂

    Like

  5. Alah mak.. Lae Nirwan kali ini udah tidak bercanda lagi… tulisan-tulisannya sudah menohok… makin sogan awak…

    halah abang ini… memuji pulak dia… ampon ampon… 😀 tapi menohok siapa bang? hahaha ….

    Like

  6. mau buka sejarah gimana…? bang nirwan…?
    biasanya sejarah itu tergantung dengan penguasa……?

    ya masuk ke sekolah ilmu sejarah lah … hahahaha 😛

    Like

  7. disini jendral nasution tidak dikenal secara wah
    tetapi di internasional nama beliau sangat dikenal sebagai jenderal yang luar biasa

    sayapun salut pada jenderal pandjaitan

    salut untuk mereka berdua

    Like

  8. he he
    jangan keliru Bung
    Nasution sama saja dengan Soeharto
    lihat saja peristiwa 48 berapa banyak dia bunuh putra2 terbaik di tanah jawa.

    sejarah multi tafsir. 🙂

    Like

  9. Loh bang g belajar sejarah y????
    Masa Jenderal Besar Soedirman g ada!!!!…
    Itu bapak TNI bung….
    Harus d tambahin lg…
    Masa Jenderal Besar pertama d Indonesia g d anggap sih????!!!!???/

    nanti saya tulis lagi. 🙂 thanks atas atensinya

    Like

  10. Siapapun Jenderal terbesar… mereka punya andil buat bangsa ini… Secara saya masih sedikit andilnya… jadi ga pantes bergelar Jenderal… 🙂

    Nice post… Salam kenal…
    Saya pasang link-nya di blog saya boleh kan… (Ga menunggu jawaban) hehe…

    Like

  11. Anjrit…psotingannya bener-bener asik banget dibaca. Dari awal sampai habis gk ada satupun yg terlewat sama saya. Thanks ya udah berbagi pengetahuan.

    Yap , bener sejarah tak lepas dari persepsi.

    Like

  12. jenderal besar itu ada 3 :

    1. Jenderal Besar Soekarno ( walau pun beliau dari sipil, tapi ingat dalam Undang-undang dikatakan bahwa presiden adalah panglima tertinggi angkatan bersenjata ), makanya jangan kaget knapa soekarno bukan militer tapi sering memakai seragam layaknya militer karna itu adalah haknya sebagai panglima tertinggi.

    2. Jenderal besar Soedirman, jelas beliau adalah bapak tentara indonesia cikal bakal TNI saat ini, yg pada saat itu berperan besar sebagai panglima perang kemerdekaan RI

    3. Jenderal Besar Abdul Haris Nasution, sebagai benteng negara dalam revolusi , beliau dianugrahi kehormatan tersebut, sebagai bentuk kehormatan bangsa terhadap jasanya.

    lalu bagaimana dengan “Jenderal Besar” Soeharto, kita semua sudah paham bahwa pada saat itu dengan berbagai kepentingan beberapa pihak berusaha memberikan “kesan baiknya” dan “mengangkat” soeharto sebagai jenderal besar…..

    Saya setuju untuk poin nomor dua, Jenderal Besar Soedirman. Jadi, secara hukum positifnya, ada tiga Jenderal Besar: Soedirman, Nasution dan Soeharto. Terlepas dari segala kontroversinya. 🙂

    Like

  13. Sebenarnya ada satu Jendral asal Tapanuli lagi yang luput dari perhatian, yaitu Jenderal Tahi Bonar Simatupang. Dia salah satu Jendral yang selalu ikut dalam perundingan2 dengan Belanda. Karirnya terlalu cepat naik (orang Batak pertama yang jadi jendral), cepat pula turun karena berani bersih tegang dengan Presiden Sukarno. Jendral Simatupang berbeda pendapat dengan sang Presiden untuk mengganti Kolonel AH Nasution, atas dasar pengumpulan pendapat oleh Kolonel Bambang, karena hal yang demikian menurut Pak Simatupang tidak lazim untuk ABRI yang selalu mengikuti rantai komando.
    Kalo bisa lae Nirwan juga bikin tulisan tentang Jendral TB Simatupang ini, hehehe

    ok saya akan bikin. thanks atas infonya, hehehe 😀

    Like

  14. Menurut saya salah satu hal yg membuat Pak Nas pantas utk mendapatkan gelar Jenderal Besar itu karena ia adalah salah satu ahli waris “terpenting” dari strategi perang gerilya-nya Jenderal Besar Sudirman.. Pak Nas menulis buku yg judulnya “Strategy of Guerrilla Warfare”, yg konon katanya buku ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, bahkan menjadi buku wajib di akademi-akademi militer terbaik di dunia, salah satunya adalah di West Point (AS), sekolah elite bagi para perwira militer di dunia.. dan sejak kekalahan Amerika dari Vietnam dulu (krn Vietnam katanya menggunakan strategi gerilya ini), hingga kini buku tersebut menjadi buku panduan wajib & khusus bagi hampir seluruh “Special Force” terbaik di dunia.. dan saya percaya selain karena skil,, kemungkinan buku ini jugalah yg membuat Kopassus menjadi salah satu pasukan elite terbaik di dunia.

    Yaah setidaknya kelihatan deh skill, prestasi dan kejeniusannya Pak Nas, karena ia tidak hanya membangun TNI pada masa-nya tetapi juga TNI untuk masa depan.. tidak seperti Jenderal yang cuma jago membunuh dan menyingkirkan “menghilangkan” lawan politiknya saja hehe

    yup … 😀 thanks 4 komen 😉

    Like

  15. mengapa nasution selamat dr pembunuhan para jenderal?
    karena dia lah OTAK di balik serangkaian persitiwa G30-S/PKI.
    Seorang bapak yang demi sebuah kekuasaan rela mengorbankan anaknya sendiri dalam tragedi pertumpahan darah yang sangat memalukan. Dialah yang kalian agung-agungkan sebagai Jenderal Besar Abdul Haris Nasution.

    wah, wah wah, kl bgt, mengapa dia tak berkuasa setelahnya? 😛

    Like

  16. yg gw sesalkan. dlm penumpasan pki dan gerwani, dilakukan secara biadab, keji dan tdk berperikemanusiaan. pdhl mrk blm tentu salah.

    Like

Leave a comment