Mestinya, Fatwa Haram Main Politik


Ada pemikiran positif soal fatwa haram golput oleh MUI. Fatwa itu– terlepas dari benar atau tidak, betul atau salahnya metode yang digunakan– diasumsikan dapat membuat tingkat representasi umat muslim dan suara Islam akan tidak terbuang seluruhnya. Dengan bahasa yang lebih “kasar”, MUI berkepentingan agar suara umat Islam tidak kosong dan akan mengakibatkan turunnya suara partai-partai Islam dalam parlemen. Dihubungkan dengan sistem suara terbanyak pasca putusan Mahkamah Konstitusi, maka adalah hal yang patut dipikirkan pula bagaimana nasib wakil-wakil rakyat yang membawa kepentingan dan aspirasi umat Islam nantinya, terlepas dia dari partai apa. Fatwa MUI jelas ditujukan untuk menyelamatkan suara wakil rakyat beragama Islam dan partai-partai berasaskan Islam.

tiga

Dengan ganasnya perilaku politik menuju Pemilu 2009, ada memang semacam kekhawatiran kalau sebagian besar umat Islam akan lebih memilih golput daripada berpartisipasi untuk memilih wakil-wakilnya. Dan tentu akan lebih riskan dan tak masuk akal pula, menyerahkan kepentingan umat Islam kepada mereka-mereka yang non muslim ataupun di luar partai berasaskan Islam. Walaupun di kalangan partai-partai nasionalis dan kekaryaan, selalu didengung-dengungkan akan tetap memperjuangkan Islam, tentu umat Islam masih akan tetap merasa tenang kalau yang membawa aspirasi mereka adalah dari golongan mereka sendiri dan partai yang sudah jelas berasaskan Islam. Bila umat dan ideologi lain saja punya kepentingan sendiri-sendiri, mengapa pula umat Islam dilarang-larang dan dicurigai untuk membawa kepentingannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Ini politik. Jadi, itu hal yang sah-sah saja.

* * *

Namun, niat yang mulia kalau dilaksanakan dengan “jahiliyah” maka tetap saja tak akan menghasilkan apa-apa dan malah mungkin bisa berbalik negatif. Apalagi, “niat” itu juga bisa diperdebatkan lagi kebenarannya. Jangan-jangan, niatnya tidak begitu pula. Bukankah yang mengemuka di masyarakat, niat dari MUI justru adalah niatnya dari penguasa? Hal itu paling tidak sudah menggambarkan ketakutan para penguasa itu akan potensi suaranya yang akan hilang di Pemilu 2009 sehingga hal itu tidak akan melanggengkan kekuasaannya di lima tahun ke depan. Tak heran, kalau fatwa haram golput MUI disebut sebagai fatwa pesanan pemerintah. Apalagi dari sisi kesejarahan, pendirian MUI tak bisa dilepaskan dari campur tangan yang sangat berlebihan – termasuk juga faktor Islam Phobia yang hidup dan mendekam di pemerintahan Orde Baru – terhadap dinamisasi gerakan Islam di Indonesia.

Karena itu yang patut dilihat MUI adalah sisi politiknya bukan dari segi kajian fiqh. Kalaupun MUI dan sebagian politisi Islam mengasumsikan suara partai Islam dan politisi Islam dapat diselamatkan oleh fatwa golput, maka lihatlah warta sejarah soal itu. Sepanjang sejarah Pemilu di Indonesia ini, 1955-2004, partai Islam itu seperti sudah ditakdirkan tidak akan pernah memenangi pemilu. Ini memang ironis, karena lagi-lagi yang dipersandarkan dalam hipotesis kegagalan itu adalah mayoritasnya jumlah umat Islam di Indonesia ternyata berbanding terbalik dengan suara yang diperoleh partai Islam.

Pemilu 1955 sudah membelah tiga aspirasi orang Indonesia sesuai partai-partai pemenang pemilu yaitu PNI, Masyumi, Nahdhatul Ulama dan PKI. Pemilu sepanjang Orde Baru pun tak menempatkan partai berasaskan Islam sebagai pemenang namun partai “nasionalis” lainnya bernama Golkar. Pemilu di zaman reformasi, 1999 dan 2004, juga sama, PDI Perjuangan dan Partai Golongan Karya bergantian menjadi pemenang.

Partai Islam? Poros NU dan Muhammadiyah yang dahulu menjadi kekuatan dalam Partai NU, Masyumi dan PPP (masa Orde Baru), sudah berbelah-belah menjadi Partai Amanah Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), PPP, PBR, PKS dan lain-lainnya. Suaranya, tak ada yang sampai 15%. Bahkan di Pemilu 2004 lalu, suara partai Islam paling besar hanya 8%. Dan sejarah Pemilu di Indonesia itu terjadi tanpa adanya fatwa golput dari kaum ulama.

Para akademisi berulangkali sudah mengingatkan, dengan polarisasi ideologi partai politik yang cukup sempit: nasionalis, kekaryaan dan Islam, maka sebenarnya partai-partai Islam akan saling berkelahi di ladang yang sempit pula. Tak mudah untuk mendobrak pakem ideologi politik itu.

Faktor kedua yang seharusnya dipakai oleh MUI adalah budaya politik dan perilaku elit politik kekuasaan. Adanya kekhawatiran dari penguasa akan tingginya angka golput adalah representasi dari kegagalan dari elit politik dalam mengaplikasikan aspirasi rakyat. Itu tidak hanya terjadi di tingkat Pemilu nasional, tapi juga pilkada-pilkada. Di Sumatera Utara, Pilgubsu 2008 memperlihatkan angka golput yang melebihi angka 40%. Namun ingat juga, hal itu berbanding terbalik dengan pemilihan kepala desa –misalnya baru-baru ini di Kabupaten Deliserdang – dengan tingkat partisipasi rakyat yang sangat tinggi.

Artinya, partisipasi masyarakat akan semakin tinggi bila masyarakat cukup kuat dan merasa saluran komunikasinya dengan kekuasaan tidak tersumbat. Seorang kepala desa bisa langsung digugat kalau main-main dengan wewenang yang diberikan oleh rakyat desa. Tapi di hampir 32 tahun Orde Baru dan 10 tahun reformasi, ternyata rakyat dan penguasa punya jurang pemisah yang cukup dalam. Perilaku elit yang senang korupsi dan amoral diperburuk dengan kondisi hidup yang masih memprihatinkan.

Itu karena apa? Jangan salahkan rakyat, karena masalahnya justru ada di tangan partai politik, elit politik, birokrasi dan pemerintah. Tingginya angka demonstrasi ke gedung-gedung dewan memperlihatkan kalau fungsi agregrasi kepentingan masyarakat tak berjalan maksimal. Masyarakat akan semakin kecewa, karena masalah yang dapat diselesaikan dari demonstrasi itu pun sangat kecil. Kekesalan itu makin bertumpuk-tumpuk; di satu sisi tidak tersalurkan dan terpenuhinya aspirasi rakyat, perilaku elit wakil rakyat malah jauh panggang dari api. Daftar Calon Tetap (DCT) pun tidak memenuhi harapan dan sekedar perulangan dari yang ada saja. Distrust politik inilah yang menjadi biang masalahnya.

Distrust ini menjalar pertama kali dari buruk dan memprihatinkannya kondisi hidup masyarakat akibat kinerja pemerintah. BBM naik, sembako mahal, pengangguran tinggi, kemiskinan di mana-mana, pendidikan tak terjangkau, kesehatan tak terobati, menjadi masalah pelik. Ke mana masyarakat akan mengadu? Ya, ke wakilnya. Kalau instrumen itu tersumbat, ya demonstrasi. Kalau unjuk rasa tak berhasil, maka masyarakat punya dua pilihan: anarki ataukah tidak percaya lagi. Kalau tidak percaya, jangan harap mereka mau ikut pemilu. Artinya apa? Ya, golput. Logika politiknya seperti itu.

Faktor ketiga yang tidak dilihat MUI adalah definisi golput itu sendiri. Uraian-uraian sebelumnya masih dalam kategori “golput sadar”. Bagaimana dengan golput yang tidak disengaja atau malah digolputkan oleh sistem?

Sampai di sini, kaitkanlah dengan tingkat pendidikan masyarakat kita yang masih rendah. Teknik pencoblosan yang sebenarnya diperuntukkan bagi masyarakat buta huruf, sejatinya memperlihatkan hal itu.

Kini, teknik pencontrengan memakai alat tulis akan diberlakukan di Pemilu 2009. Tapi bagaimana sosialisasi Pemilu yang sudah dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)? Nihil. Lha, sampai sekarang masih ada masyarakat yang tak tahu kalau Pemilu itu bulan April nanti, kok. Kalau jadwal memilih saja dia tidak ingat, bagaimana pula diharapkan dia bisa tahu apakah nanti mencontreng ataukah mencoblos? Nah, kalaulah dia mencontreng, peraturan mengenai sah atau tidaknya dua kali pencontrengan justru baru diatur dua bulan menjelang pemilu diselenggarakan! Bukankah, kalau masyarakat sampai salah mencontreng maka kertas suaranya dianggap rusak dan tidak dihitung? Dan bukankah hal ini nantinya akan disamakan dengan kertas suara yang kosong (tidak dicontreng) dan inilah yang lantas dianggap golput?

Persoalan Pemilu 2009 (dan pemilu-pemilu sebelumnya) adalah persoalan sistemik. Hal-hal teknis pemilihan seperti ukuran kertas, DPT yang amburadul total, peralihan geografis, jadwal pemilihan dan seterusnya, yang seharusnya dijalankan oleh KPU, saat ini sudah macet total.

* * *

empat

MUI seharusnya tak perlu khawatir dengan makin turunnya suara partai ataupun caleg Islam. Itu karena, hal itu juga nanti berlaku bagi ideologi partai yang lainnya, nasionalis dan kekaryaan. Dengan pakem yang ada dan tanpa perubahan radikal, percayalah, suaranya masih akan begitu-begitu juga. Selain itu, ingat, tak seluruh golput itu beragama Islam. Golput sadar, bukan berada di lapis masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah, tapi menengah ke atas. Golput “tak sadar” tak bisa diselesaikan dengan fatwa, melainkan oleh sistem pemilu yang mudah, sederhana dan ringkas. Jadi, adalah sebuah kebelingeran luar biasa, kalau MUI sampai mau-maunya menjadi bumper pengganti fungsi dan peran KPU serta pemerintah dalam Pemilu.

Karena itu, kalau MUI sedang rajin-rajinnya mengeluarkan fatwa, seharusnya bukan ditujukan kepada masyarakat, tapi kepada para elit politik, parpol, pemerintah penguasa, DPR dan politisi pada umumnya yang menjadi asal muasal masalah pemilu dan buruknya kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini. Seharusnya, MUI mengharamkan kepada mereka-mereka itu untuk berpolitik. Atau malah, kalau MUI berani langsung saja haramkan memilih orang atau partai ini!

===

foto oleh Roemono

11 thoughts on “Mestinya, Fatwa Haram Main Politik

  1. Sebagai orang bodoh kita hanya tau bahwa Fatwa adalah kata-kata bijak dari seorang yang dapat dipercaya; sebagai orang bodoh kita hanya tau bahwa MUI adalah Majelisnya Umat Islam di Indonesia; sebagai orang bodoh kita hanya tau Fatwa MUI selayaknya “ngoceh-ngoceh” berkisar wilayah Al Quran dan Al Hadits; sebagai orang bodoh kita hanya bisa melongo Ooo… MUI ga lebih dari gudang topeng; dan sebagai orang bodoh kita hanya sisakan Dwi Indra untuk MUI, yang lainnya Tri Indra(Tutup Mata, Tutup Mulut, Tutup Telinga). Kita hanya mengerti bahwa Nothing For MUI; MUI mau Fatwa sejuta Fatwa, ga ada yang dengerin. Emangnya MUI itu Allah? Nabi? Weleh weleeeeh…. Allah Swt Maha Mengetahui apa dan darimana isi perut MUI!

    Like

  2. Bingung…. Masa iya golput haram…. Bukankah malah dosa kalau kita milih wakil rakyat yang salah (yang malah bikin rakyat sengsara). Coba haram mana… Belum kepilih aja sekarang udah saling menjatuhkan… gimana kalau jadi nanti…

    Like

  3. Kalau saya mendingan Demonstrasi yang difatwakan Haram. Berita terbaru dari Sumatera Utara, ketua DPRDnya meninggal setelah rapat di gedung DPRD didemo dan jadi rusuh. Ketua DPRDnya disandera, ditarik-tarik akhirnya jatuh pingsan dan meninggal dunia.

    Like

  4. benar juga, seharusnya kalo mui berani, fatwakan saja untuk haram memilih partai a, b atau c…
    itu lebih fair, berarti islam memainkan peranan lebih… dari hanya sekedar dimainkan… iya toh?

    Like

  5. Kalo MUI melakukan kajian politik, namanya mesti diganti jadi MPI bro….Majelis Politik Indonesia 🙂

    Dalam sebuah kunjungannya ke Indonesia, Yusuf Qhordhowi berujar sambil mengomentari hasil pemilu 1999: “Saya bingung sekali dengan pilihan dan perilaku politik masyarakat Indonesia. Di Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Partai sekuler justru jadi pemenang pemilu.” He he ini Indonesia…tak ada teori apapun yang cukup layak untuk menggambarkan peta politik dan kultur di Indonesia.

    Ah aku tak ingin banyak berkomentar tentang MUI…
    Cukuplah kOmentar2ku tentang MUI akhir2 ini membuat inbox emailku penuh dengan sebutan tak menyenangkan 🙂

    Cuma aku agak heran dengan foto kedua yang kau pakai di tulisanmu ini. Kenapa foto ibu2 pengajian gitu yang kau munculkan? Representasi dari MUI kah?
    He he…

    oh foto emak-emak itu emang disengaja, jeng yen. 😀 soale kaum emak-emak ini yg paling lemah namun yg paling suka dieksploitisir. masa depan ada di tangan ibu-ibu kita, tapi ibu-ibu ini paling sering diboong-boongi sm bapak e… liat aja nanti kaum bapak yang kampanye sm perwiritan ibu-ibu … “Ibu-ibu, tolong dibilang sama anak-anaknya, kalau golput itu haram … ” weleh weleh …. 😀

    Like

  6. Bukannya membela MUI, tapi kalau saya menilai dari segi Agama memang ada alasan2 mengapa MUI mengharamkan GOLPUT, saya beranggapan MUI hanya sekedar menyampaikan apa yang menurut pengetahuan mereka bahwa GOLPUT itu haram yang diharapkan masyarakat menghetahui itu aja. nah mau dipakai terserah gak dipakai ya gak pa2, lha wong saya komentar ini ya ngawur kok ? wwwwwwwwwwweeeeeeeeeeeeekkkkkkkkaaaaaaaaaaaaaaakkk

    Like

  7. Ha ha ha….kritik nan pedas buat para perempuan 🙂
    Makanya aku bilang…nih perempuan mau pemilu dimana-mana jadi bahan eksploitasi.

    Tapi dirimu juga mengeksloitasi perempuan lho bro…menampilkan foto itu kan juga sebuah bentuk eksploitasi… 🙂

    Wakakakak…

    enggak lah, itu gak kritik kok, mbak. 😀 gak berani saya sama perempuan, apalagi ngekspolitasi… gak berani..ampun gusti …. 😀

    Like

  8. assalamu alaikum wr. wb.

    Permisi, saya mau numpang posting (^_^)

    http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/06/03/menggugat-demokrasi-daftar-isi/
    http://hizbut-tahrir.or.id/2009/03/17/demokrasi-bukan-jalan-perubahan-hakiki/

    Sudah saatnya kita ganti sistem,
    untuk masa depan umat yang lebih baik!
    semoga link di atas bisa menjadi salah satu rujukan…

    Terima kasih atas perhatian dan kerja samanya.
    Mohon maaf kalau ada perkataan yang kurang berkenan. (-_-)

    wassalamu alaikum wr. wb.

    salam. ok sip 😀

    Like

Leave a comment