Indonesia dan Islam, Cermin yang tak Seharusnya Dibelah


Majelis Ulama Indonesia (MUI) memang telah mementik emosional umat muslim. Saya termasuk orang yang “marah” dengan fatwa nyeleneh itu. Suatu hari saya dan teman-teman ditemani teh, kopi dan pisang goreng, mendiskusikan ulang soal fatwa politik dari MUI itu. Asap-asap rokok pun mengepul-ngepul.

Dalam diskusi itu, ada yang pro banyak yang kontra. Kami membatasi pembicaraan tidak menyangkut pada hal-hal fiqh. Karena dari diskusi itu, kami berpandangan bahwa urusan fiqh tidak tepat diletakkan untuk melihat fatwa politik MUI. Fatwa politik berbeda kasusnya dengan penarikan fatwa misalnya pada haram atau tidaknya babi.

Waktu itu, kami yang berkumpul berasal dari ragam ranah pemikiran. Ada yang sekuler, ada yang tradisional, ada yang fundamentalis, moderat dan ada pula dari kubu Islam holistik. Pemikiran melintas-lintas, diskusi toh semakin hangat kalau ada perbedaan perspektif dan hipotesis.

kondisi islam

Kawan saya yang sekuler – mereka sebenarnya bukan “kawan” karena jauh lebih senior dan masuk level guru-guru saya – menganggap, tidak perlu ada campur tangan agama dalam kehidupan politik. Agama adalah suatu hal yang suci karena itu jangan sampai di bawa-bawa ke ranah politik yang penuh kekotoran. Membawa agama ke politik justru menjadikan agama sebagai ladang hujatan, ladang pertempuran dan akibatnya agama pun jadi penuh dengan tangan-tangan kotor manusia. Alasannya memang benar. Sejarah sudah membuktikan Islam justru semakin mundur ketika hadits-hadits palsu bertebaran hingga sekarang. Pembenaran atas nama agama adalah konsekuensi dari ditariknya agama ke ranah sosial politik.

Yang lain menganggap, sekulerisasi agama justru menjadi biang kemunduran politik. Politik itu sebenarnya tidak kotor, karena politik justru diperlukan untuk menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang kotor itu adalah perilaku elit. Itu sudah ranah akhlak. Karena itu ranah akhlak, maka agama mau tak mau, harus ikut serta dalam arus itu. Kalau agama dikeluarkan dari kehidupan sosial politik, maka agama tak lebih hanya menjadi semacam “keset kaki” saja. Moralitas yang dibawa agama seharusnya juga diterapkan dalam kehidupan politik. Karena itu, yang perlu dilestarikan adalah nilai-nilai keberagaman mesti dapat jaminan dalam kehidupan politik.

Yang fundamentalis lebih dahsyat. Penarikan kesimpulannya sebenarnya berasal dari ranah tradisional, tapi dia jauh lebih berani. “Lha, justru karena agama itu sangat suci, maka kesucian itu mesti dimasukkan seluruhnya dalam sebuah sistem. Negara Islam mesti terbentuk!” kata dia. Dia bilang, politik is the real politic. Karena itu, dalam politik, naif adalah barang haram. Kalau satu kelompok mau memasukkan idenya untuk terlaksana, maka dia mesti merubah, mengambil, dan menguasai sistem itu. Lebih besar dari itu, agar sistem itu bisa terlaksana, maka sistemnya mesti dilestarikan dalam ketetapan hukum. Negara Islam adalah konsekuensi yang logis untuk itu.

Saya terang menyetujui lintas pemikiran-pemikiran tersebut. Saya menganggap kalau Islam adalah agama yang sudah sempurna sehingga tak perlu digugat-gugat lagi. Karena itu pula adalah kewajiban meletakkan sendi-sendi Islam dalam kehidupan berbangsa bernegara secara totalistik. Islam itu mengatur dari hal-hal seperti cara buang air hingga bagaimana cara mengambil keputusan dalam suatu negara. Islam juga menyebutkan soal organisasi dan perkumpulan. Islam juga membicarakan soal bangsa-bangsa, namun Islam juga mengutamakan keindahan seni, budaya dan cinta.

Karena luasnya jangkauan Islam itu, maka hal-hal seperti “negara Islam” berada di dalam laci tertentu dari banyaknya laci-laci pembicaraan Islam. Karena itu pula, dalam hal-hal tertentu saya lebih menyetujui pandangan kaum tradisionalis dan fundamentalis daripada kaum moderat dan sekuler. Saya berpandangan, menyisihkan agama dari kehidupan sosial politik justru mengkerdilkan pengertian agama itu sendiri. Soal-soal seperti justifikasi ayat-ayat dan penerepannya, memang tak bisa dianggap sepele, namun itu dinamika. Toh, Islam sendiri sudah punya perangkat yang jelas untuk menghempang hal itu.

Namun, pemikiran itu juga memang tidak serta-merta membawa persepsi yang saya kira terlampau buru-buru, bahwa di Indonesia ini harus berdiri negara Islam. Dibutuhkan pengkajian yang luar biasa komprehensif hingga didapatkan formula yang tepat dan tegas untuk menafsirkan ulang Islam. Persoalan yang utama saat ini adalah apakah Islam di Indonesia itu sendiri sudah mampu menjawab persoalan-persoalan modernisasi saat ini dan punya kemampuan untuk memprediksikan serta merancang kehidupan yang lebih baik di masa akan datang.

Saya kira kita belum sampai di sana. Kaki kita masih tersangkut pada minimnya pendidikan yang dinikmati oleh umat Islam. Kita tidak perlu malu mengakui kalau sebagian besar umat Islam Indonesia level pendidikannya masih rendah. Itu karena Islam di Indonesia adalah mayoritas. Indonesia itu miskin, karena itu pula umat Islam masih di bawah garis kemiskinan. Itu persoalan yang ada di Indonesia ini bahkan sejak Indonesia itu sendiri belum berdiri kukuh. Itu persoalan nyata, tak perlu ditutup-tutupi. Justru itu ada untuk dipecahkan.

Melihat Indonesia adalah melihat kondisi Islam juga. Persoalan Indonesia adalah persoalan Islam. Indonesia dan Islam ibarat cermin. Dua-duanya tidak bisa saling menyalahkan sehingga kemudian “membelah cermin”.

* * *

Jalan pemikiran itu akan membawa kita pada pandangan bahwa kita tidak boleh berkelahi dengan pemeluk agama lain di Indonesia ini. Umat Islam tidak diperbolehkan sedikit pun menyinggung-nyinggung kepercayaan agama lain. Yang wajib diurusi oleh setiap umat muslim kepada umat agama lain adalah persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara. Persoalan kemiskinan dan kebodohan yang dialami pemeluk agama lain, adalah persoalan kita juga, sama seperti kita juga harus malu kepada kondisi yang dialami umat Islam sendiri. Ini bukan persoalan kuantitatif, siapa paling banyak yang bodoh atau siapa paling sedikit miskinnya. Itu pemikiran inlander, orang yang sudah terjajah mentalnya. Orang-orang seperti itu akan terkesima dengan propaganda pemerintah yang dengan bangganya menyebutkan kemiskinan di negeri “hanya” 15%. Kita lihat memang “kecil”, tapi bisakah Anda bayangkan jumlah 15% dari 220 juta lebih itu adalah lebih dari 33 juta orang? Bisakah Anda bayangkan puluhan juta orang itu dikumpulkan dalam satu pulau di Indonesia ini dan semuanya tidak bisa makan?

dua

Buanglah jauh-jauh pemikiran statistika “anak-anak” itu. Islam sudah mengajarkan, siapapun itu harus diangkat dari jurang kebodohan dan kemiskinan. Islam tidak pernah menghitung-hitung berapa yang harus diangkat, karena bagi Islam satu orang yang tidak makan, satu orang yang tidak sekolah adalah bencana.

Bingkai Islam holistik seperti ini, akan membawa Indonesia lebih damai. Kita tidak ingin menuntut pemeluk agama lain untuk percaya pada konsep yang diyakini Islam. Islam tidak butuh itu. Karena yang diinginkan Islam adalah kemajuan dan perubahan di segala bidang. Namun, pemikiran itu sama sekali tidak mengesampingkan faktor-faktor riil politik dalam pertarungan kepentingan antar umat agama dalam ranah politik. Umat Islam pun memang tidak boleh buru-buru menjadi naif dan malah menjadi under control.  (*)

foto: dipinjem dari AP Photo. 😀
yang foto: rahmat gul, pavel rahman

25 thoughts on “Indonesia dan Islam, Cermin yang tak Seharusnya Dibelah

  1. sudahlah…mari kita bersatu dlam “bhineka tunggal ika”.
    idealisme agung dari para pendiri bangsa kita …mari kita tegakkan itu setinggi2nya ….
    mari kita kesampingkan persoalan2….agama loe apa ?? suku loe apa ..?? coba mari kita jawab ….GUE ORANG INDONESIA.
    kalo kita terus mempermasalahkan persoalan2 itu …kita nggak akan pernah keluar dari persoalan sebenernya …KEMISKINAN,KEBODOHAN,& KEADILAN.
    mindset pemikiran bangsa ini terlalu pragmatis ..segalanya di ukur dari …dia siapa ?? jabatannya apa ?? bisa menguntungkan nggak buat gue …?!???.
    ini masalah yg sudah akut …(susah di sembuhkan).tp,justru ini masalah sesungguhnya bangsa ini.cara berpikir yg demikian ..seperti lingkaran setan …siapa makan siapa …!!!
    hanya sedikit orang yg prihatin dgn keadaan bangsa ini …sementara yg laen justru tidak peduli,acuh tak acuh….(yg penting gue nyaman).

    ada banyak persoalan, mesti dikuliti satu persatu, dicari jawabnya dan dikerjakan. tidak mudah, butuh waktu, dan tak perlu buru-buru. 🙂

    Like

  2. secara sederhana .. islam adalah rahmat smesta alam, islam adalah suatu jawaban dr berbagai persoalan di-dunia yg rumit ini.. dan secara sederhana pula, kita scara tdk langsung meng-agung-kan pancasila dgn ke-bhineka-an tunggal ika-nya, padahal yg kita agungkan itu hanyalah setitik nilai2 al-quran yg benar2 ada contoh panutan-nya yaitu muhammad saw, dan pancasila yg notabenenya produk manusia, yg sampai skrg blm terbukti siapa yg menjadi panutannya.. maaf bukan sy tdk setuju pd pancasila, tp sy sangat setuju dgn nilai substansi pancasila ini.. tp alangkah terkejut-nya sy kebanyakan elite dahulu dan skrg ini menempatkan pancasila sebagai tameng, untuk sebuah kekuasaan..

    aih aih… 😀 🙂

    Like

  3. Jangan coba-coba memfokuskan pemikiran pada suatu “negara Islam” sebelum meyaqini dengan bukti2 otentik berapa besar persentase ummat Islam Sesungguhnya di Indonesia yang tidak hanya sekedar dilihat dari angka-angka partisipan penuhnya masjid tatkala tarawehan, ramenya idul fitri, ramenya yasiinan, berduyun-duyunnya CJIH mengejar Titel Haji. Sampai seberapa besar kekafahan ummat dalam Islam untuk membangun suatu “negara Islam”. Kalau ternyata benar hanyalah dipenuhi oleh ratusan juta jiwa-jiwa kosong dan topeng-topeng Islam dengan mengenakan songkok putih penanda “Aku Islam!”, 5/5 ucapan adalah Islam sementara hati dan tangan menjulur selewengkan daging Qurban, terima bayaran layaknya MUI, amblasnya bangunan negara telah menunggu di ujung sana karena yang berdiri di puncak kekuasaan adalah Para Raja Topeng yang justru akan berlindung dibalik Kokohnya Islam yang diridhoi Allah Swt.

    😀 “negara Islam”, adalah salah satu laci dari banyak dan kompleksnya laci-laci masalah keislaman. Tak ada yang perlu diributkan, dan tak perlu buru-buru. Lagipula, persoalan-persoalan negara yang dihadapi Indonesia saat ini, -di mana umat Islam jadi golongan terbesar di rumah itu- juga merupakan persoalan-persoalan Islam. Ada atau tidak ada Indonesia, berjalan atau tidak sistem di negara ini, Islam yang lahir ribuan tahun lampau akan terus membantu Indonesia untuk mengatasi permasalahannya. 🙂

    Like

  4. Menarik sekali, secara garis besar saya sepakat dengan penulis. Menurut saya Islam tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sosial-politik kita. Kita pun tidak bisa menutup diri akan hal itu. Bahkan semua aspek, nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin itu sejatinya masuk ke dalam kehidupan ummat.

    Bhinneka Tunggal Ika, saya pikir Islam tidak ada masalah dengan itu. Islam menyadari sepenuhnya realita pluralitas yang ada di Indonesia, bahkan di muka bumi ini. Selama itu tidak menyangkut akidah tidak masalah saya kira.

    Dalam konsep berbangsa dan bernegara, berniaga, aktivitas sosial, iptek, tentu kita tidak bisa melepaskan diri dari keberagaman itu. Bagi Islam, akidah adalah sesuatu yang luhur (tanpa harus memaksakan dan mempengaruhi keyakinan yang lain yang beragam itu) cukuplah bagiku agamaku, bagimu agamamu. Namun dalam kehidupan yang lain di luar akidah tentunya tidak seperti itu, bagi kita, Indonesia adalah Indonesia kita semua, bekerja sama membangun negeri adalah tugas bersama…

    Wacana negara Islam memang tampak berkesan “egois” di mata awam semua elemen bangsa, meskipun mayoritas adalah ummat Islam. Ironisnya ummat Islam sendiri belum mampu menunjukkan seperti apa rahmatan lil ‘alamin yang sesungguhnya itu. Maka, saya kira untuk mengikis kecurigaan-kecurigaan itu, lebih baik berkaca diri ke dalam internal ummat ini, apa yang sudah kita kontribusikan rasanya masih banyak yang perlu dibenahi… Wallahu alam.

    Like

  5. bung nirwan, menurut saya sih indonesia dan islam bukanlah cermin. tapi lebih tepatnya bola. kenapa? karena indonesia tidak bisa langsung bercermin kepada islam, dan begitu pula sebaliknya. kenapa? karena indonesia memiliki kemajemukan yang amat banyak. dan, kenapa saya sebut bola? karena indonesia dan islam merupakan sebuah kesatuan yang tak terpisahkan, dan selalu bersama-sama berputar mengarungi waktu serta zaman..

    demikian

    ya gpp mas billy, mo disebut bola juga boleh. paling tidak, kita sudah punya kesamaan dan kesepakatan kalau indonesia dan islam merupakan sebuah kesatuan yang tak terpisahkan. 🙂

    Like

  6. sebenarnya disayangkan dalam kehidupan ini hal-hal yg berbau agama seolah-olah tabu dibawa keranah yg “bukan” wilayah agama. ya saya ga sependapat klo golput itu haram, karena yg jadi permasalahan adalah ketiadakepercayaan warga/rakyat terhadap elit2 yg berpolitik dan mereka berpolitik menghalalkan segala cara dan tentunya hal itu bertentangan dengan agama..

    Like

  7. itulah sebabnya kenapa indonesia nggak bisa bergerak maju ….
    ada suatu golongan yg mau bikin ideologi sendiri sesuai dgn agama & kepercayaannya.
    sementara fakta yg ada bahwa indonesia terdiri dari berbagai macam SARA.
    golongan itulah yg menghambat perkembangan kemajuan negara indonesia.

    soekarno punya ideologi, soeharto juga, kristen protestan juga, kristen katolik juga, hindu juga, budha juga, orang jawa juga, orang batak, makassar, manado, dayak, banjar, papua…dst dst…dan semuanya ingin agar kepentingannya bisa berjalan di Indonesia ini. Mengapa Islam dilarang-larang? 😛

    Like

  8. Islam itu kan harus ad di setiap segi kehidupan manusia, mau sosial, ekonomi, politik & hukum.
    masalahnya banyak orang yang PENGEN ngambil ajaran islam mentah-mentah masuk ke hal dunia. contoh negara2 agama Theokrasi/menggunkan simbol2 agama . ngambil gampangnya aja/ gak mau pikir panjang. (bukti ulama kita kewalahan lawan dunia)
    yang penting itu kan nilai – nilai ISlam yang ada di setiap insan manusianya itu, kalu saja Islam di formalkan dalam suatu negara dan menerapkan secara harafiah aturan2 agama (potong tangan, rajam) kan lucu juga. jadi agama gagal mendidik umatnya menjadi lebih terdidik, toh aturan2 purbakala masi dipakai, seharusnya kan agama itu membuat manusia menjadi lebih baik terus menerus.
    makanya perlu adanya SEKULARISASI dalam segi politik, sosial dan ekonomi tetapi tetap nilai2 Islam ada didalamnya dalam manusia yang melakukannya.(bukti ulama kita berhasil mengalahkan dunia)
    kalau ada orang yang mengagungkan Pancasila itu nama nya nasionalis yg berlebihan tapi kalau ada yang gak setuju dengan Pancasila & bhineka tunggal ika itu namanya CALON PENGHUNI BUI
    tp alangkah terkejut-nya sy kebanyakan elite dahulu dan skrg ini menempatkan Islam sebagai tameng, untuk sebuah kekuasaan..

    Tak ada jaminan nilai-nilai islam akan bisa hidup tanpa aturan-aturan formal yang islami. Agak bingung juga kita memasukkan sistem perbankan konvensional itu, masuk dalam mazhab pemikiran Islam yang mana? Sama seperti misalnya metode sanksi hukum alam modern ini (seperti penjara dan denda) yang toh juga warisan purbakala itu.

    Saya setuju, soal harfiah itu. Karena itulah titik tolaknya adalah bagaimana Islam menjawab persoalan-persoalan modernisasi. dan aneh juga kala kata “shariah” itu sendiri kok sudah seperti stigma saja, cap buruk, seolah-olah kalau kata itu dipasangkan, akan merubah tata susunan negara Indonesia ini? padahal apalah bedanya itu dengan “hukum” yang juga berasal dari bahasa arab?

    Like

  9. Islam menjawab persoalan-persoalan modernisasi. itu HARUS/KUDU/MESTI lah.
    makanya kita umat muslim harus mengUNIVERSALkan Islam itu sendiri, toh nilai ISlam yang universal tidak ada salahnya malahan bagus dan dunia pun bisa menerimanya tanpa harus ada embel2 simbol semata. kita jangan terjebak mengEKSKLUSIFKAN islam itu sendri, orang2 jadi terstigma dengan hal yang bukan-bukan nantinya.
    kenapa sistem perbankan syariah tidak ddisebut sistem perbankan bagi hasil saja, toh sama maksudnya, malahan orang2 non muslim mungkin menjadi lebih tidak terstigma akan hal tsb, dan baiknya juga mereka jadi melaksanakan syariah islam kan secra tak langsung.
    kalau kita mau menegakan shariah ISlam, jangan ekstrem2 bgt, nanti orang jadi antipati truz terstigma shariah itu buruk ( dkit2 piagam jakarta, gmn orang gak takut) perlahan tapi pasti aja.
    maaf ya kang jamal tak kutip kata2 nya.

    Like

  10. islam dan umat islam serupa tapi tak sama …….

    islam itu damai …,kl umat islam ….???
    islam itu indah …,kl umat islam ….???
    islam itu sederhana …,kl umat islam ….???
    islam itu rahmat …,kl umat islam ….???
    islam itu suci ….,kl umat islam ….???

    Like

  11. Entah dari sisi perngkategorian iman yang sejauh ini saya pahami sedikit (kadar iman yang baik, sedang dan paling lemah) yang menyatakan ubahlah kemunkaran dengan tanganmu, jika tidak mampu dengan ucapanmu, dan jika masih tidak mampu jua dengan hatimu dan itulah selemah-lemah iman.

    Mengapa saya menilik kembali penggalan kalimat itu? Betapa tidak, dunia dengan segenap isinya yang semakin kompleks dan kritis telah membuat diri ini terus diselimuti berbagai pertanyaan besar dan juga kritis tentunya, ada kritikan ke dalam internal ummat Islam dan tidak sedikit pula kritikan terhadap pihak eksternal (dalam artian ini mereka, kami yang belum mengenal indah dan paripurnanya aturan hidup di dalam Islam).

    Islam adalah rahmatan lil ‘alamin artinya rahmat bagi semesta alam, ia pun adalah sebuah agama samawi yang bungsu, penyempurna semua ajaran dan agama yang diridhai Allah, Tuhan pencipta alam semesta dan seisinya.

    Realita pluralitas. Itulah yang terkadang saya bertanya-tanya (baik di dalam hati maupun saya coba diskusikan dengan beberapa rekan saya), ketika rasa semangat beragama yang mulai diupayakan untuk tumbuh, terkadang diri ini, diri kita semua dibenturkan oleh realita pluralitas yang ada. Jika asumsinya begini, kita bertukar posisi menjadi orang-orang yang tidak (belum atau curiga) dengan paripurnanya Islam, maka saya si non-muslim atau siapapun yang belum mengenalnya pastilah akan berkesimpulan eksklusif, benar sendiri, sok suci, munafik bahkan radikal dan mengekang tatanan yang sudah ada dan mapan (meskipun dalam pandangan Islam tatanan yang ada itu jahiliyah sekalipun).

    Realita pluralitas, sebagai bagian dari suatu masyarakat yang memiliki budaya dan nilai-nilai lokal, saya contohkan dengan apa yang saya akui, sebagai orang Sunda, sebuah suku yang sebelum mengenal Islam, lebih dahulu Hindu, Buddha dan animisme. Realita pluralitas budaya Sunda, seperti tarian jaipong dengan saweran dan gerakkan semi-erotis dari penarinya, budaya adu ketangkasan domba, debus dengan nuansa magis dan lain sebagainya tentulah bagian dari tradisi Sunda yang sudah mengakar dan turun-temurun berabad-abad lamanya. Namun, ketika semua realita pluralitas tadi dihadapkan dengan Islam dan segenap aturannya, maka ia jelas tidak akan pernah bertemu. Islam jelas melarang mempertontonkan aurat, sanggul (rambut palsu yang disambung), mengadu hewan seperti ayam, domba atau bagong (baca: babi), meminta pertolongan magis, memakan makanan yang tidak baik (seperti dalam kesenian debus) yaitu paku, kaca, genteng, dan sebagainya.

    Apakah atas nama budaya, adat-istiadat, pariwisata dan hiburan kita kesampingkan Islam? Atau sebaliknya kita kesampingkan budaya, adat-istiadat dan hiburan demi Islam? Adakah suatu bentuk sama-sama enak, sama-sama sejalan tanpa ada yang menyinggung antara satu dengan yang lainnya? Sulit dan pelik nampaknya untuk menemukan titik temu dari keduanya.

    “Katakanlah yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil meskipun pahit adanya…” wallahu alam.

    Like

  12. Dilematis memang. Islam mau, budaya lokal juga mau. Tapi apakah bisa berjalan beriringan? Apakah Islam berkenan dengan tarian jaipong yang penuh goyang pinggul dan saweran? Juga seni ketangkasan adu domba? Apa Islam membenarkannya? Sementara seniman dan budayawan menginginkan kemurnian budaya lokal dan mengecam pengekangan…

    Mungkinkan cermin itu tak terbelah?

    Like

  13. “katakanlah yang haq itu haq dan yg bathil itu bathil meskipun itu pahit adanya”

    FPI menganggap memukul,meninju,menendang,memukul,menampar,mencaci maki..dsb. adalah haq.(atas nama keimanan mereka).
    bagi si korban perbuatan itu adalah bathil.
    apakah yg anda rasakan bila anda adalah si korban ..???(sapa tau salah sasaran).

    di negara ini kebathilan ada di setiap hembusan nafas kita.
    bukan tari jaipong,tari kecak,tari piring ….memang penyembah berhala,batu,kayu….dsb adalah sebuah kebathilan…lalu,apakah anda akan memusuhi mereka karena tidak seiman dgn anda …??? atau,anda akan mencurigai mereka…??? bahkan anda mendoakan supaya dia mampus…??? bisa pula anda akan membunuh mereka satu per satu…???

    PROSTITUSI
    PERAMPOKAN
    KORUPSI
    MANIPULASI
    ABORSI

    APA YG ANDA TELAH LAKUKAN UNTUK MEMBERANTAS KEBATHILAN ITU ..???

    Like

  14. Hmm… bicara agama dan politik memang sensitif ya.
    Mohon dengan sangat aku cuma butuh pencerahan dari rekan-rekan semua yang berminat diskusi, dengan tanpa tendensi tentunya…

    Aku jujur kadang juga suka serba salah jika menyatukan antara agama (Islam) dan budaya lokal Indonesia. Islam dan budaya lokal kita yang sudah lama mengakar.

    Di satu sisi mungkin kita menginginkan kaffah, tidak setengah-setengah, belajar dan mengamalkan Islam yang rahmatan lil’ alamin semampu kita dengan terus berusaha memperbaiki kualitas ibadah kita.

    Dan untuk pluralitas budaya dan agama aku pikir Islam tidak ada masalah dengan itu, lakum dienukum walyadien, bagiku agamaku, bagimu agamamu… There’s no problem at all, bahkan untuk urusan bukan akidah, semua elemen wajib bersinergi bekerjasama. Harus!

    Namun, jika kita menilik ke”kaffah”an (upaya) ummat Islam dan dihadapkan dengan budaya lokal, rasanya aku masih tidak menemukan titik temu untuk budaya-budaya tertentu. (Maaf, disini aku bicara budaya bukan maslaah moral prostitusi, aborsi dan korupsi karena jelas itu bertentangan dengan agama apapun).

    Contoh misalkan Islam tidak menghendaki budaya memasang rambut palsu (sanggul) which is an indonesian heritage, atau tarian jaipong yang penuh daya pikat dan saweran uang, dan secara demografi Sunda itu mayoritas muslim. Lalu budaya warok (wadam) di beberapa daerah, Islam tidak mengenal adanya gender ketiga.

    Nah yang bikin aku kadang mikir, haruskan kita pertahankan beberapa budaya tersebut? Sementara itu tadi nilai-nilai adat-istiadat kita yang sudah mapan? Mohon pencerahan, sekali lagi tanpa maksud tendensi apapun 🙂

    Sesuai dengan judul ini, “Islam dan Indonesia” memang suatu yang tidak seharusnya dipisahkan. Trims tuk pemilik blog 🙂

    Sekali lagi, tanpa tendensi, hanya diskusi.

    Islam tidak dalam posisi menggugat budaya lokal. Sunan kalijaga sudah menerapkannya di pewayangan. tapi kl ada orang afrika yang gak pake baju, jangan dibangga-banggain, itu karena orang tu aja yg belum bisa bikin baju. tapi mereka butuh baju, kl gak, hewan dan tumbuhan pasti gak nempel di badan. Yang keblinger kalau ada yang menyamakan antara Arab dan Islam. Mesti bijak-bijak memilah.

    Like

  15. rambut palsu ..???
    tari jaipong ..???
    reog ponorogo..???

    gue nggak peduli dgn hal begituan ….(terlalu dangkal).
    masih banyak persoalan bangsa ini yg lbih penting untuk di pikirkan….

    kl km mau ….SILAHKAN ANDA BERGOYANG INUL…..sesuka hati…(sampai puas).

    hhahaha ……….

    Like

  16. So, budaya-budaya tadi kampungan dong yah? Nggak penting juga sih, tapi nanti takut dibiang gak nasionalis atau lupa sama daerahnya. Hihihi…

    Like

  17. Tidak semuanya negara arab adalah negara islam, jangan terkecoh dengan bahasa, lebih lucunya lagi, lagu HABIBI YAA NURIL AIN yang dinyanyikan oleg Amir Diab dijadikan lagu islami di Indonesia, padahal lyricnya tentang percintaan, yang lebih parah lagi si penyanyi adalah non muslim. aya aya waeh……negara kita ini, pada saat libanon diserang, tanpa mengetahui komunitas bangsa tsb, pokoknya JIHAD di gedein. Sudahlah…….urus bangsa sendiri aja.

    Like

  18. @ Jamalsmile
    kok keliatannya kata2 KAMPUNGAN jadi kata2 yg mengejek
    padahal kalian ini kan bukan orang kota to ?
    kalau kalian org kota mesti ga akan ngomong kampungan..
    he he he
    hooooooooooooooooooooooeeeeeeeeeeeeiiiiiiiiii kampoang nan jauh dimato emaaak aku kangeeen maaaaaaaaaaak

    Like

  19. jadi, sanggul itu mode yang kampungan toh?
    untung kepalaku plontos…
    gak perlu pake sanggul yang kampungan itu…
    udah ribet, kampungan lagi! ngapain dibanggain dan dipertahankan kalau kampungan.

    lho ini diskusi ngomongin apa yah sebenarnya? Bingung sendiri…

    Like

Leave a comment