Sebuah Diskusi dengan Kader PKS, Saiful Anwar


Saya sungguh menghargai komentar Bang Saiful Anwar di halaman blog saya, “Si Nirwan”. Karena itu, walau saya sudah mengalihkan diri dari perbincangan soal PKS, dalam rangka penghargaan terhadap beliau, saya menuliskan beberapa potong pendapat saya dalam tulisan tersendiri. Berikut ini saya copy komentar beliau:

Assalaamualaikum Wr. Wb,

Bang Nirwan, tulisan antum bagus-bagus ya, memang budaya berfikir dan saling berbagi pengetahuan masih menjadi permasalahan umum bangsa kita. Saya tertarik dengan tulisan antum yang berjudul ketumpulan berpikir kader PKS, sangat bagus dan masukan yang baik bagi kami para kader PKS.Setelah belasan tahun mengikuti kajian PKS, terus terang baru saat ini saya bisa menyimpulkan tujuan besar kajian tarbiyah PKS, setelah dipaksa professor untuk mempresentasikan Information and Communication Technology in Islamic Perspective.

Setelah berhari-hari googling dan membuka lagi catatan tarbiyah selama ini, ternyata baru saya sadari bahwa ICT merupakan concern pertama Allah dalam membangun civilization baru. Peradaban Islam.Dalam surah Al-alaq, sebagai surah pertama yang diturunkan kepada kanjeng Nabi, 5 ayat pertama sebenarnya adalah formalitas pengangkatan tugas kerasulan dan sekaligus grand designnya.Perintah Baca di ayat pertama adalah perintah pertama kepada kaum muslimin untuk melakukan gathering data dengan filtering yang ketat (Bacalah, dengan nama Allah yang menciptakan manusia dari segumpal darah) untuk mencegah terjadinya flooding atas data yang tidak dapat dipercaya kebenaran isi dan sumbernya.Pada ayat selanjutnya, Allah menjelaskan perlunya teknologi (al-qolam) untuk dikuasai sebagai sarana mendapatkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari Allah, yang akan mengajarkan manusia dari tidak tahu menjadi tahu. Kondisi saling ajar dan mengajar ini hanya terbentuk pada sebuah peradaban yang komunitasnya mencintai ilmu dan perubahan (wisdom community), itulah makanya ayat tersebut memerintahkan Rasululloh pada akhirnya untuk membentuk sebuah pemerintahan berbentuk kekhalifahan (wakil Allah di bumi sebagai wisdom community). Wajar saja jika saat itu, Rosululloh langsung pulang ke rumah dan menggigil ketakutan sehingga meminta Istrinya untuk memberikan selimut. Berhari-hari beliau berkemul saking takutnya, bukan karena pertama kali bertemu Jibril A.S tapi karena mendapatkan tugas yang maha berat itu. Merubah tatanan dunia baru yang saat itu dikuasai Rowami di barat dan Persia di timur. Sampai akhirnya turun ayat selanjutnya pada surah Al-muzzamil (yang berselimut) yang memerintahkan beliau untuk bangun dan memulai aktivitas dakwahnya.Jika merujuk pada teori pendidikan saat ini maka akan kita ketahui bahwa tujuan akhir dari pendidikan adalah untuk menghasilkan manusia-manusia yang terlibat secara aktif dalam melakukan kajian, transfer dan pembentukan ilmu pengetahuan baru untuk menghasilkan learning community yang bercirikan wisdom community.

Kajian PKS yang disebut tarbiyah yang memiliki tujuan akhir untuk menciptakan wisdom community, mencintai ilmu dan saling berbagi pengetahuan, dimana syarat akhirnya adalah karya-karya yang dihasilan selalu harmonis dengan lingkungannya dengan cara-cara yang paling kecil mudharatnya.

Itulah bang Irwan, filosofis dibelakang iti semua, dan saat ini kami masih dalam tahap belajar dan terus belajar. Mungkin beberapa kalimat dibawah ini bisa menggambarkan sedikit pemahaman saya yang baru saja mengkristal selama ini,
“We will walk a thousand leagues in falsehood, that one step of the journey may be true” atau ” do one thing but false mean thousand than 1000 words without do anything”

Jadi kalau pemikiran kami masih diangap tumpul mohon dimaafkan karena kami masih dalam tahap belajar (tarbiyah).

Ok bang Nirwan, terima kasih atas pencerahannya, semoga silaturahim ini terus terjaga.

Salam Ukhuwah dari al-faqir,

Saiful
Phd Research Student
Nagaoka University of Technology
Japan

* * *

Tulisan “Ketumpulan Berpikir Kader PKS” itu tak diniatkan sebagai sebuah kontroversi, namun lebih berdasarkan “shaub al-haq, shaub al-shobr”. Namun, manusia memang bermiliar tafsir dan pandangan, dan saya tak bisa mencegah itu.

Ayah dan Ibu saya adalah mahasiswa fakultas tarbiyah di IAIN Sumut di tahun 1970-an. Keduanya menjalani kehidupan sebagai seorang guru di suatu madrasah, guru seni musik dan kemudian ayah saya beralih menjadi pegawai negeri sipil. Bagi saya, mereka adalah orang terpenting. Ayah saya pernah mengatakan kalimat yang dilontarkan atasannya kepada dirinya, “Dunia ini penuh dengan hal-hal haram dan sedikit hal yang halal. Karena itu, ambillah yang makruh bila terlalu berat di hal-hal halal”. Ayah saya seorang yang pekerja keras yang realistis di kehidupan dunia yang sangat keras ini dan ibu saya adalah guru mengaji tingkat ibtadaiyah yang sungguh luar biasa. Keduanya berbahagia hingga kini dan saya mendoakan surga untuk mereka. Walau demikian, saya terang cemburu kepada Anda yang sedang mengambil PhD di Jepang. Selamat berselancar di dunia ilmu pengetahuan.

Ketumpulan berpikir itu tidak mungkin bisa dijelaskan hanya dalam sekelumit komentar-komentar yang masuk ke blog saya. Itu hanya fenomena dari sebuah konsekuensi logis akan rendahnya kuantitas dan (apalagi) mutu pendidikan politik yang dilakukan oleh partai-partai politik di Indonesia ini. Partai politik, seperti kita ketahui, hanyalah salah satu komponen yang harus dituntut pertanggungjawabannya untuk itu.

Substansinya adalah pembodohan yang terus-menerus dilakukan oleh siapapun yang menjadi penguasa di negeri ini. Sistem kita adalah sistem pembodohan. Sistem pembodohan itu tak sulit melihatnya, tak sesulit melihat susahnya penguasa negeri ini menaikkan anggaran pendidikan kita menjadi hanya 20% saja. Dengan sistem seperti itu, maka partai politik masih dalam kerangka yang sama: politik nan haus syahwat kekuasaan. PKS hidup di sana dan menikmati suasana itu.

Tulisan soal PKS di blog ini sebenarnya saya mulai dengan konsep “ideologi” dalam cuplikan sederhana pada tulisan “PDIP vs PKS…hahaha”. Saya membenturkannya dengan konsep paling dasar yang harus dimiliki oleh setiap partai politik. Dan di konsep itu, saya tak menemukan hasil memuaskan. Apa ideologi yang dimiliki dan diperjuangkan PKS? Tentu saja, saya hanya akan tersenyum bila dikatakan “ideologi” PKS itu hanya seperti “gotong royong membersihkan parit” ataupun menggerakkan “sumbangan ke daerah bencana”. Kita pun dapat menemukan banyak persoalan di salah satu model taktik yang demikian itu.

Saya memperhatikan sejenak soal model murobbi, liqo dan seterusnya … dan konon diadopsi dari gerakan Ikhwanul Muslimin-nya Hasan Al Banna. Namun saya tak mendapatkan kemiripan apapun di sana, kecuali hanya istilahnya saja. Pertanyaan-pertanyaan menggelitik saya, bagaimana mungkin seorang non muslim akan dikader secara Islami?

Saya menelaah soal pandangan adanya kesamaan antara gerakan dakwah PKS dengan gerakan dakwah Muhammadiyah. Namun, di manakah letak kesamaannya saya pun tak menemukannya. Di NU apalagi.

Dengan demikian, saya meletakkan kerangka PKS dalam satu model gerakan tertentu dari “salah satu organisasi politik Islam” saja. Gerakan politik PKS tentu tak bisa disamakan dengan gerakan “sosial politik” dan kultural yang dilakukan oleh kedua organisasi besar ini, walau saya punya asumsi, bahwa PKS punya kecenderungan untuk mengadopsi beberapa gerakan dari kedua model organisasi ini. Tapi ternyata di variabel itulah, PKS (dan bukan orang di luar PKS) sendiri telah menemukan, bahwa partai politik ini sendiri “ternyata berbeda”.

Perbedaan itu membuat PKS terjebak dalam eksklufisme gerakan. PKS terkucilkan dan –mungkin ini istilah yang lebih tepat- mengucilkan dirinya. Apa sebabnya? Ada beberapa faktor di antaranya tak terterimanya konsep “aliran Islam” dalam PKS dengan arus utama Islam di negeri ini. Boleh-boleh saja PKS mengatakan “ahlu sunnah wal jamaah” namun di tubuh NU sendiri ada perdebatan serius terhadap “aliran” PKS ini. Kita tidak bisa menampik perbedaan itu dalam kerangka “rahmatan lil alamin” semata namun lebih menurunkannya dalam suatu permasalahan dunia yang harus dipecahkan. Bahasa kasarnya, jangan sampai Tuhan sendiri turun tangan mengurus masalah itu dan memperlihatkan secara nyata kondisi kekanak-kanakan Islam kita.

Sesungguhnya suara basis PKS terletak di Pemilu 1999 dan naiknya suara PKS di 2004 adalah faktor blessing in disguise dari kondisi yang menimpa organisasi-organisasi Islam pada kurun 1999-2004 (dan hingga kini). Anda harus melihat faktor tidak terterimanya secara ikhlas kepemimpinan Nahdhatul Ulama (Presiden Abdurrahman Wahid) dan Muhammadiyah (Ketua MPR Amien Rais) di sana oleh legiun politik lain seperti nasionalisme gaya PDIP dan militer, teknokrasi-birokrasi-konglomerasi gaya Golongan Karya, dan jangan luputkan gurita eksternal dari politik Internasional.

Bagaimana untuk menjadi besar? Maka pekerjaan rumah yang paling utama adalah merenovasi rumah, membeli tanah para tetangga dan membangun rumah di sana. Itulah yang dilakukan PKS untuk membesarkan rumah dan halaman mereka. Tapi tentu, untuk membeli rumah tetangga, harus ada duit yang dikeluarkan dan kerelaan si tuan rumah yang lain untuk menjual rumahnya. Di dua hal ini, PKS menemukan masalah turunan dari eksklusifisme itu: tak punya duit dan si tuan tanah tak rela tanahnya dicaplok.

Untuk melakukan dua strategi mendasar itu, maka diadakanlah rembug keluarga. Setiap anggota keluarga mengeluarkan pemikirannya berdasarkan background-nya selama ini. Dan seperti biasa terjadi dalam musyawarah keluarga, maka terjadilah perbedaan pendapat dan keluarlah perpecahan itu menjadi gosip-gosip ke rumah-rumah tetangga. Tentu, dalam musyawarah itu, seperti laiknya hubungan kemanusiaan, hanya sedikit pihak yang merelakan, bila seandainya tidak tercapainya kata mufakat, apakah hasil pemungutan suara bisa didukung? Namun keputusan toh harus dijalankan, walau ada pihak yang “kalah” dalam rembug itu. Perpecahan itu sungguh nyata di PKS dan gelembung-gelembung yang terungkap di media massa itu, hanya puncak gunung es saja.

Apakah PKS memahami etalase ini? Tentu saja tapi hanya segelintir. Itu karena elit-elit politik PKS sendiri masih terkatung-katung antara manisnya memori konsep khalifah dan phobia Islam fundamentalis di zaman Soeharto. Di sisi lain, orang PKS sendiri sebenarnya ragu, apakah memilih Ikhwanul Muslimin-nya Hasan Al Banna atau mengadopsi kultural ideologis Jamaluddin Al-Afghani ataupun Muhammad Iqbal di Pakistan. Itu karena, PKS tak punya tokoh gerakan untuk memimpin pekerjaan yang “Maha Berat” itu. Maka untuk menyederhanakannya, dibuatlah sistem bahwa semua bisa memimpin, dan mungkin saja ini diambil dari “kolektif kolegial”-nya Muhammadiyah yang di satu sisi hal itu berbenturan dengan sistem waris seperti yang terjadi di NU. Ini menjadi titik perbedaan antara PKS dengan sistem ikhwanul muslimin secara “kaffah”. Ikhwanul Muslimin sendiri tak akan segampang itu meletakkan seseorang sebagai “Hasan al-Banna”.

Perspektif saya kepada PKS ini adalah sederhana saja. Maafkan saya bila saya tak punya cukup waktu dan energi untuk mengupas dan menyelidiki habis-habisan soal PKS ini. Toh, masalah-masalah Indonesia itu sangat-sangatlah luasnya. Dan pastilah tangan saya yang kecil ini tak punya cukup kemampuan untuk merangkum itu semua.

Dengan perspektif sederhana ini, dengan perilaku nyata yang ditampakkan kasat mata akhir-akhir ini, maka pertimbangkanlah soal “tarbiyah” yang seperti apa yang harus dilakukan oleh PKS. Kalau soal iklan yang mencontreng Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asyari, tawaran saya adalah “silaturahim” dan bukannya menjawab gugatan dari anak-anak NU dan Muhammadiyah dengan kalimat “PKS dizalimi NU dan Muhammadiyah”. Sementara soal PKS dan Soeharto saya sudah mengomentarinya sebagai “dakwah sesat yang dilakukan PKS”.

Soal-soal Information Communication Technologi dan hubungannya dengan Islam itu memang asyik untuk dianalisis dan diteliti ulang. Namun, ada juga yang berpandangan, “kefasihan” orang Indonesia (yang Islamnya) dalam mengolah “mouse” masih seperti artis Cinta Laura yang “fasih” ber-english ria tapi kepingin masuk Universitas Harvard. Saya bukan orang IT tapi basic keilmuan saya sementara ini di dunia komunikasi. Analisis hipotetik Anda soal surat Al-Alaq itu menarik juga, dan ada alam-alam pemikiran post modernis di sana. Ada dekonstruksi terhadap tafsir yang mengacu pada ranah-ranah kontekstual dan fenomenologi. Soal itu begitu rumitnya karena memasangkan secara tepat antara wilayah ICT dan Al-Alaq (dan kemudian Al-Mudatstsir) perlulah penelaahan super intensif. Saya tidak ingin terjebak di pemikiran yang terlampau terburu-buru walau saya berprasangka Anda sudah meletakkan kerangka filsafat post modern di sana? Betulkah itu? Kita bahaslah itu nanti dalam tulisan tersendiri.

Di sisi lain, saya sungguh menghormati saudara saya Saiful yang mengatakan “berbuat satu kesalahan jauh lebih berarti dari seribu kata tanpa berbuat apapun. ” Bagi saya, tarbiyah adalah soal pendidikan dan di sektor terburuk di negeri ini, maka pekerjaan yang dimaksudkan janganlah membayangkan seperti ketika kita sedang mencangkul tanah ataupun mendorong gerobak. Dunia maya adalah dunia yang sungguh luas walau ia tak seluas ketika kita berkelana di luasnya dunia ilmu pengetahuan. Komentar Anda dan teman-teman lain di dunia maya (dan kemudian mampir di blog ini) bukankah dalam rangka pekerjaan itu juga?

Salam hangat dan doa untuk Anda.

29 thoughts on “Sebuah Diskusi dengan Kader PKS, Saiful Anwar

  1. Kecerdasan dan bijak yang tampak pada setiap tulisan anda masih ada ketulusan disitu, banyak manfaat dan pelajaran yang selama ini belum didapat.

    Dalam tulisan Ketumpulan Berpikir Kader PKS dan Argumentasi Kemerosotan PKS menimbulkan multitafsir yang cukup menarik.

    Diskusi dengan kader lumayan ada tik tok.

    terimakasih … 🙂

    Like

  2. TARBIYAH !. Jangankan membacanya, melihat tulisannya saja, umumnya orang tahu, berasal dari bahasa Arab, yang berarti pendidikan.

    Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh seseorang dalam menyampaikan ilmu pengetahuan dan ketrampilam kepada orang lain.

    John Dewey menyebutkan; pendidikan merupakan proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.

    Ada beberapa makna Tarbiyah ;

    1. Proses pengembangan dan bimbingan, meliputi jasad, akal, dan jiwa, yang dilakukan secara berkelanjutan, dengan tujuan akhir seseorang tumbuh dan hidup mandiri di tengah masyarakat.
    2 Kegiatan yangg disertai dengan penuh kasih sayang, kelembutan hati, perhatian, bijak, dan menyenangkan (tidak membosankan).
    3. Menyempurnakan fitrah kemanusiaan, memberi kesenangan dan kemuliaan tanpa batas sesuai syariat Islam.
    4. Proses yang dilakukan dengan pengaturan yang bijak dan dilaksanakan secara bertahap. Dari yang mudah kepada yang sulit dan sebagainya.
    5. Mendidik seseorang melalui penyampaian ilmu, menggunakan metode yg mudah diterima sehingga ia dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
    6.Kegiatan yang mencakup pengembangan, pemeliharaan, penjagaan, pengurusan, penyampaian ilmu, pemberian petunjuk, bimbingan, penyempurnaan dan juga perasaan.

    Teorinya, Tarbiyah terdiri dari Tarbiyah Khalqiyyat dan Tarbiyah Diiniyyat Tahdzibiyyat.

    Tarbiyah Khalqiyyat merupakan pembinaan dan pengembangan jasad, akal, jiwa, potensi, perasaan dengan berbagai petunjuk. Sedangkan Tarbiyah Diiniyyat Tahdzibiyyat merupakan, pembinaan jiwa dengan wahyu untuk kesempurnaan akal dan kesucian jiwa menurut pandangan Allah SWT.

    Terus terang, pendapat Bung Syaiful Anwar tentang tujuan besar kajian Tarbiyah PKS, tentunya sedikit menggelitik hati dan fikiran saya.

    Bung Syaful Anwar bilang; “Kajian PKS yang disebut tarbiyah yang memiliki tujuan akhir untuk menciptakan wisdom community, mencintai ilmu dan saling berbagi pengetahuan, dimana syarat akhirnya adalah karya-karya yang dihasilkan selalu harmonis dengan lingkungannya dengan cara-cara yang paling kecil mudharatnya”.

    Aneh saja rasanya, jika kajian besar Tarbiyah PKS, jika dikaitkan dengan prilaku politik PKS belakangan ini. Mohon maaf, saya sama sekali tidak melihat pada simpul Tarbiyah yang mana PKS berpegang, sehingga memiliki tujuan akhir untuk menciptakan wisdom community.

    Sebagai pemilih PKS (bukan kader PKS) pada Pemilu 2004, terus terang saya sedikit kecewa dengan prilaku politik PKS belakangan ini. Saya mencium aroma “ketidakselarasan” kader PKS saat berlenggang. Saya juga sependapat dengan Nirwan, mencium adanya aroma “syahwat” di tubuh PKS.

    Mumpung belum terlambat, saya berharap PKS mengembalikan makna Tarbiyah yang sesungguhnya.

    Surah An-Nur 35:

    Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. 24:35)

    Salam Hangat selalu buat kader PKS

    dah abang ambil semua pembahasan soal tarbiyah itu… gak berani aku menambah-nambahi lagi…ntar dikira bid’ah pula … hehehehe 😀

    Like

  3. ini berarti bukan hanya sikap (laku) yang kita nilai, maka ada juga pandangan-pandangan yang nilainya normatif, nominal apalagi semantik dalam sebuah pemikiran dan dalam tulisan yang bertafsiran luas seperti (itu) tadi. Ya terserah aja mau masuk yang mana, mau jadi yang mana, mau ikut yang mana….ya kan?

    aku ikut abang aja la ke London … boleh gak bang? hehehehe 🙂

    Like

  4. Ya, saya setuju, bang Nirwan thanks a lot atas tulisan2nya bagus!
    Kita semua musti banyak belajar lagi! Kalau kita terus mau memperbaiki apa yang salah dan masih kurang, jadinya insya Allah membuat kita lebih bijak, dan masih terus punya ghirah dalam berpolitik dengan terus memperbaiki setiap langkahnya.

    Bravo maju terus PKS!
    Syukron

    sip sip …. keep kritis… berjuanglah dengan prinsip “al haq” dan “Shobr”. Kalau ngelawan sikat aja … 😀

    Like

  5. bijak sekali nih bang nirwan…..
    jd intinya ialah ; ‘PR’ bagi kita semua bagaimana menyelamatkan bangsa saat ini, dan belum terlambat

    bravo maju terus Amien Rais!
    syukron

    gak bijak-bijak kali lah … 😀 tapi PR nya memang terlalu amat sangat banyak … itu sering dibilang Amien. 😀

    Like

  6. “berbuat satu kesalahan jauh lbh berarti dr seribu kata tanpa perbuatan” (pragmatis)

    jgn anggap enteng satu kesalahan krn itu akan melahirkan kesalahan2 berikutnya.
    ” sekali km berbohong selamanya km akan terus berbohong”

    seribu kata kl seandainya berarti,berguna,& menjadi inspirasi bagi orang lain itu adalah pekerjaan yg luar biasa.

    akur … 😀

    Like

  7. Diskusi yang menarik……
    jika semua kader PKS bisa berlapang dada menerima kritik saya pikir mereka punya potensi untuk besar…..
    masalahnya ‘berlapang dada menerima kritik aja gak cukup dalam hal mensikapi melencengnya manuver PKS belakangan ini……
    Kader PKS tidak banyak yang secara terbuka melakukan kritik atas model manuver yang jelas-jelas bertolak belakang dengan sikap politik pada awal pendirian PKS ….
    maksud saya….menguatnya syahwat berkuasa yang membutakan mata hati elite PKS seperti Annis Matta.Fachri Hamzah dll…menyebabkan mereka tak segan-segan menjilat ludah sendiri..mulai mengganggap Soeharto Guru bangsa,Menominasikan Tutut sebagai wanita yang menginspirasi untuk kemudian dicabut lagi sebelum dipilih….
    sehingga terjebak pada sinyalemen Dewi…
    ““berbuat satu kesalahan jauh lbh berarti dr seribu kata tanpa perbuatan” (pragmatis)

    jgn anggap enteng satu kesalahan krn itu akan melahirkan kesalahan2 berikutnya.
    ” sekali km berbohong selamanya km akan terus berbohong”
    itu yang terjadi pada PKS saat ini…..

    “kesalahan” mengangkat Soeharto Guru Bangsa..(ini diakui Tifatul Sembiring..waloow diralat oleh pengurus lainnya…)

    diikuti “kesalahan” menominasikan Tutut sebagai Wanita yang menginspirasi…

    diikuti lagi “kesalahan” menggugurkan nominasi Tutut dalam kontes Wanita yang menginspirasi padahal Tutut tetep seharusnya tetep berhak masuk nominasi karena dia mendapatkan sms dukungan dari khalayak yang tertarik ikut kontes “Wanita yang menginspirasi”..yang salah metode pemilihannya yang tanpa filter karena begitu terbuka…hanya berdasat sms saja…kok yang “disal
    ahkan” hasil nominasi yang menunjuk Tutut sebagai nominee Wanita yang menginspirasi…

    kalok melihat alur ..kesalahan berulang ini..kayaknya semakin mendekati PEMILU 2009 …akan semakin terdedahkan rentetan kesalahan lainnya…yang semuanya berakar dari
    Ketidakmampuan elite dan kader PKS untuk meredam SYAHWAT BERKUASA yang telah meracuni beberapa kader kunci PKS….
    semua ini terjadi..karena tak ada keberanian kader untuk melakukan koreksi secara terbuka atas “kesalahan kebijakan yang terstruktur” dari segelintir elite PKS….
    jadi ..”berlapang dada terima kritik tak akan menyelesaikan masalah” tanpa keberanian melakukan koreksi langsung…

    alias TARBIYAH dikejar…tanpa berani Mengimplementasikan hasil belajar itu gak ada gunanya….

    btw…lembut kali komentar Lae Nirwan tentang PKS pada tulisan ini..he..he..he..he..

    saya memang orang yang lembut, bang. hahahaha 😛

    Like

  8. Waw, tulisan PKS disini banyak banget! Gw heran pada semangat 45 gitu. Hehe
    Diskusi yang laen napa? Emang parpol laen gak ada yang bisa dibicarakan?

    Gw pengen tau juga tentang PKB-PKNU-PPNUI-GATARA?
    Trus PAN-PMB?
    Ama satu lagi, kelompok banteng (PDIP-PDP-PNBKI-PNIM-PPDI)?

    Gw salut ama lo produktif nulis hebat! Cerdas lagi, tapi kalau bahasan politik parpol nya beragam dong biar rame!

    Gw bukan PKS, tapi kalau baca disini postingan PKS mulu, ada rasa kasihan sama mereka dikupas habis-habisan, kesian deh tuh partai. haha…

    Mungkin memang lagi masanya … toh orang-orang muda seperti ini (itu tuduhan saya kepada sebagian besar mereka-mereka yang komen di sini…hahahaha!) bakal menjadi fundamen Indonesia ini di 10-20 tahun lagi.. siapa tahu… 🙂

    Soal tulisan partai lain, sebenarnya sudah ada…liat ajah di arsip saya … tapi emang belum semua lah … tergantung selera, rokok dan kopi juga … hahahaha 🙂 let’s see what can we do -lah… hehehehe 😛

    Like

  9. Penyakit awal PKS pasca pemilu 2004:
    (1) Ananiyah politik (merasa diri sebagai pewaris tunggal negeri ini dan sorga. Agama dan Tuhan pun, seolah menjadi miliknya sendiri. Ia mau buat sejarah Tuhan sendirian).

    (2) Hipokritas. Struktur yang dibangun menghendaki munculnya feodalisme. Di antara kader akan muncul siatuasi dan hasrat ingin saling “bunuh”.

    (3) Cepat puas. Prestasi kecil di dunia buruk membuat orang-orang PKS sudah ke langit. Dia tak cukup punya konsepsi, dan sekarang mereka secara lembaga maupun orang-perorang sedang berusaha mencari kekayaan, by hook or by crook. Contoh hidency corruption ada di PKS, tak kan bisa disiasati oleh KPK. Karena sambil berperformance religius di tengah sekuler, mereka sedang intip kantong yang terbuka.

    (4)Metamorfosis yang terjadi menggambarkan penguatan faksi yang tinggal menunggu waktu untuk pendirian PKS baru di masa datang yang tak lama lagi.

    PKS masih perlu, dia aset bangsa (kan diakui oleh UU?), maka ada kewajiban bersama untuk memperbaikinya.

    Ini analisis yang lebih tajam dari punya saya. 🙂 PKS masih diperlukan, baik sebagai “partner” maupun “sparring partner”. Hidency corruption yang menimpat PKS itu penyakit kronik yang belum ada obatnya di negeri ini, apalagi kalau diatasnamakan “berkah dan rezeki dari yang maha kuasa”. Mesti dicari obatnya dari luar, kalau perlu bersemedi di gua hira dulu … dan kalaupun obatnya sudah diresepkan, belum tentu si dokter mau memberikan dan belum tentu pula si pasien mau menelan obat itu. 😀

    Like

  10. Saya hanya simpatisan PKS.
    Saya insya Allah bisa berlapang dada menerima kritikan partai dukungan saya.
    Saya sadar PKS banyak kekurangannya.

    Tapi saya nggak mau pilih parpol lain.
    Gimana dong bang?

    Note:
    Blog Kompas Pak Prayitno Ramelan di atas bagus juga, lebih adem dan bijak (parpol nya juga beragam yg dibahas). Mungkin yang nulis udah tua, kalo blog si Abang ini masih muda-muda dan energik, kadang suka debat kusir. Tapi dua2nya saya salut. Cerdas!

    Kurang lebih ada 4 bulan lagi untuk Pemilu 2009 dan lima tahun lagi untuk 2014. Bagi parpol-parpol itu sudah kepepet, tapi bagi kita yang pemilih, waktu yang tersedia masih banyak untuk mengukur partai-partai. Subjektivitas saya adalah Islam dan Islam menyuruh saya agar tetap objektif. 🙂

    Like

  11. debat kusir ?
    menurut sy di komentar di atas biasa2 aja ko…
    cuma sharing pendapat aja …

    dah kebakaran jenggot nih rupanya pks mania .. sampe2 nyaranin buka blog lain… tp tetap aja temanya ga jauh dr pks…

    biasa lah taktik manajemen konflik nya dah ketahuan….

    hahahaha … 😛

    Like

  12. Politik itu menurut gw harus bisa bermain cantik,

    Mau pake label agama lah, nasionalis lah, wong cilik lah, ormas lah, perempuan lah, dakwah lah, sosialis lah, dsb.

    Yang jelas politik itu harus bermain cantik.

    Like

  13. saya lebih suka politik itu harus bermain jujur,cerdas & kreative…
    politik tidak harus cantiek atau ganteng….
    yg penting,..jujur dan tidak membodohi masyarakat.
    serta…bisa mendewasakan bangsa……

    Like

  14. Mas Saiful Anwar, wah apa kabar PKS Jepang?
    Ngomong2 di Korea juga sudah dibentuk ya?

    Ayo satukan langkah!

    Like

  15. pelan tp pst PKS di tinggal oleh pendukung2nya.
    manuver2 usang & salah kaprah kerap di lakukan oleh partai yg mengaku sbg partai dakwah ini.
    politisi2 PKS tidak bisa membaca wacana politik masyarakat yg telah berubah.
    masyarakat skrg telah melek politik & mampu berpikir sendiri untuk menentukan partai mana pilihannya.
    pragmatisme politik yg di kembangkan PKS adalah proses pembodohan masyarakat.
    sygnya…masyarakat skrg sudah tdk bodoh lg…mereka sudah sangat berpikir kritis.
    so….jangan harap PKS akan mendulang suara signifikan di pemilu 09……GOODBYE PKS………..

    Hha…….Hha……..hhahaha….

    Like

  16. Pandangan yang menarik bang. Karena mayoritas berasal dari persepsi, jadi sangat debatable.

    Sebenarnya banyak sekali yg ingin kutanyakan terkait pernyataan2 dalam tulisan abang diatas.

    Kalau semua dibahas, bisa kepanjangan. Aku pilih satu aja, dari sisi manhajnya. menurutku ini inti.

    Pernyataan “Di sisi lain, orang PKS sendiri sebenarnya ragu, apakah memilih Ikhwanul Muslimin-nya Hasan Al Banna atau mengadopsi kultural ideologis Jamaluddin Al-Afghani ataupun Muhammad Iqbal di Pakistan.”

    pernyataan ini dasarnya apa? sumbernya dimana? faktanya bagaimana?

    makasih bang

    Hmm… saya jawab semampu saya. 🙂

    Soal hubungan antara PKS dan Ikhwanul Muslimin saya kira itu sudah rahasia umum. Yusuf Qardhawi dalam bukunya “Umat Islam Menyongsong Abad ke-21” (2001) pun pernah menyinggung hal itu, dan hingga sekarang PKS tak pernah mendebatnya (Saya kira ada perhitungan untung-rugi di sana). Kita ambil hal-hal “kecil” seperti salah satu di antara theme ikhwanul muslimin adalah begini : Allah ghayatuna (Allah tujuan kami), Rasulullah qudwatuna (Rasulullah teladan kami), Qur’an dusturuna (Al-Qur’an landasan hukum kami), Jihad sabiluna (jihad jalan kami), Syahid asma’amanina (mati syahid cita-cita kami yang tertinggi)” … ini sama seperti yang dimiliki PKS. Hal-hal “kecil” lainnya seperti sebutan “ikhwan” “akhwat” dst itu merupakan identitas.

    Di sisi lain, kultural ideologis yang saya maksud di antaranya adalah pembaharuan pemikiran Islam gaya Jamaluddin Al-Afghani dan ia melanjutkan ide-nya itu dengan cita-cita “Pan Islamisme”.

    Kita bagi saja tipikal ketiga orang ini menjadi begini:

    – Jamaluddin Al-Afghani: Pemikir, pengkampanye kebangkitan Islam dan konseptor politik Islam. Tak punya pasukan namun berhasil membongkar backmind dan menginspirasi hampir seluruh ulama dan umat Islam terutama dari kalangan tertindas.

    – Hasan Al Banna: tipologi “tentara” (Saya tak bilang dia tak pemikir tapi itu kurang menonjol), organisasi gerakan dan lebih ke “syar’i” (pemikiran filosofis cenderung tak ditonjolkan). Madrasah menjadi basis gerakan karena Al-Azhar saat itu justru bukan “kawan”. Nasionalisme dibolehkan walau tujuannya nanti Khilafah Al-islamiyah.

    – Iqbal: Pemikir dan Filosof muslim keluaran Perancis. Tak punya tentara tapi pemikiran Islamnya meruntuhkan argumentasi Eropa terhadap Islam, namun bersama lyang lainnya dia bisa membuat negara Islam Pakistan. Perguruan Tinggi menjadi basis gerakan.

    PKS dalam AD/ART-nya (yg tak mengalami perubahan mendasar dari AD/ART Partai Keadilan), memperlihatkan hal itu. (AD/ART adalah sumber paling resmi dari sebuah partai sehingga untuk diskusi yang singkat ini kita bisa menghindarkan multitafsir dari pandangan elit politik PKS yang beragam-ragam background itu).

    Di satu sisi, ada keinginan untuk mengikuti “Pan Islamisme total” gaya Al-Afghani namun PKS seperti lebih tertarik dengan organisasi gerakan versi Ikhwanul Muslim yang lebih “nasionalis”. Istilah “ahlul halli wal aqdi” yang dipakai untuk majelis syura itu berkesesuaian dengan konsep “khilafah” dalam Islam (sistem khilafah islamiyah adalah faktor kedekatan dengan konsep Pan Islamisme Jamaluddin) karena konsep seperti ini hanya dipakai ketika mempelajari term politik Islam tentang bangsa dan negara. Penjelasan lebih panjang soal ini silahkan melihat “Ahkam Sulthaniyah” karangan cendekiawan Abu Hasan Al Mawardi. Namun, PKS mengadopsinya dan meletakkan bingkainya dalam “Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dengan demikian, asumsinya, sebenarnya sistem “khilafah” sudah tak mendapat tempat di tubuh PKS walau memori itu masih akan terus dilekatkan di sana. Di sisi itu, PKS boleh jadi berbeda dengan gerakan Islam lain seperti Hizbut Thahir, MMI, dst, atau kalau ditarik lebih ke belakang dengan model gerakannya DII/TII. Yang patut diingat, PKS bukan yang pertama terinpirasi Ikhwanul Muslimin, tapi dulu ada sosok M. Natsir dan Masyumi. Di titik itu akan sangat menarik karena terjadi perbedaan juga antara Partai Bulan Bintang (PBB) dengan PKS.

    Saya punya asumsi walau PKS ingin meniru habis konsep ikhwanul muslimin, hal itu tidak bisa dilakukan mereka di Indonesia ini. PKS, seperti juga banyak partai Islam lainnya, masih terlalu sulit untuk menemukan formula yang komprehensif mengenai “daulah al-islamiyah” itu di Indonesia ini. Karena itu, adopsi terhadap IM Hasan Al-Banna –hingga kini- hanyalah pada simbol-simbol dan semangatnya saja. Makanya, saya cenderung mengatakan (untuk saat ini), tak ada kemiripan apa pun di sana kecuali istilah-istilahnya saja. Karena itu pula, saya pernah menulis, kalau PKS tak ada bedanya dengan partai-partai Islam di negeri ini yang kemudian masuk dalam pusaran “politik kekuasaan” dan menikmati kondisi itu.

    Dan soal keragu-raguan itu, ya elit PKS tak akan pernah mengungkapkan itu di hadapan masyarakat. Bisa-bisa ‘gak laku jualannya, eh, lari pemilihnya … 🙂

    Cemana…cocok awak rasa? 😀

    Like

  17. ada beberapa yg kurang cocok ku rasa bang:

    – tentang buya Natsir dan Masyumi, setahu saya selain IM-Hasan Al Banna beliau terinspirasi juga oleh Gerakannya Jamaluddin, Abduh dan Rasyid Ridha (agak sulit ketika memaksa meng-indpenedenkan pemikiran tokoh2 ini). PBB sekarang saya kurang paham dengan pola gerakannya.

    – ketika berbicara ttg IM, yg biasa dijadikan rujukan adalah Risalah Pergerakan-nya Hasan Al Banna. Tapi saya pikir, itu gak cukup untuk membaca seperti apa gerakannya. Maka pemikiran Sayyid Qutbh, Fathi Yakan, Mustafa Masyhur, Jumaah Am, dll yg dituangkan dalam buku2 mereka perlu di baca pula. Sehingga abang bisa lebih jelas melihat apakah yang berbeda adalah manhaj PKS dan IM. Atau berbeda metode dan pendekatan antara IM di Mesir dan PKS di Indonesia?
    Sehingga pernyataan “adopsi simbol-simbol dan semangatnya saja” bisa di kaji dan dipikir ulang 🙂

    o ya bang, pak amien gimana kabar? untuk pemilu 2009 udah ada move dari beliau?

    sip sip …. ini baru mantap. 😀

    1. Tentang M Natsir ini tak ada persoalan. Umumnya, kebangkitan Islam modern versi Sunni, memang akan selalu ditarik melalui tiga orang ini: Jamaluddin Al-Afghani, Abduh, dan Rasyid Ridha. Ketiganya punya ciri khas sendiri, lahir di tengah konteks yang berbeda, waktu yang berbeda, sehingga pemikirannya pun berbeda walau berintikan pembaharuan Islam. Untuk itu, Jamaluddin ada poros utama. Ditarik lebih ke atas ada Ibn Taimiyah di sana, dst, dst. Posisi M Natsir saya kira sama dengan posisi Hasan AlBanna, Sayid Khan, Iqbal, dst dst ,, di sana: terinpirasi Jamaluddin. PBB jelas memakai M Natsir sebagai tokoh panutan mereka. Soal mereka bisa atau tidak mengikuti jalan pikiran M Natsir itu lain soal. Yusril itu pintar luar biasa tapi dia masih kategori “intelektual-cendekiawan”, belum bisa menggerakkan orang.

    2. Tentu sumber-sumber resmi pengikut IM harus menjadi rujukan untuk melihat IM. Namun, untuk melihat melihat determinasinya di Indonesia ini (apalagi perkembangan politik Islam di dunia) gudang referensinya harus ditambah, tidak sekedar pemikir Islam murni tapi juga sosial politik dan budaya umum. Apalagi kalau mengaitkannya dengan etalase politik kontemporer. Misalnya, di antara variabelnya, politik Islam Indonesia bisa dibagi antara pra kemerdekaan-1945, demokrasi terpimpin, orde baru, reformasi. Dengan pendekatan konteks dan perbandingan historis, maka kita bisa melihat wajah politik Islam, termasuklah di sana ada PKS. Kita bisa menguliti satu persatu partai-partai Islam ini, berdasarkan latar belakangnya, inspiratornya, infastruktur, basis gerakan dst. Nah, mungkin saja hipotesisnya akan begini: “adopsi simbol-simbol dan semangatnya saja” … (salah satu sampel menarik kan antara PBB dan Natsir sekarang, 🙂 )
    Soal referensi buku-buku apa saja yg harus dibaca, nanti kita bisa tuker-tukeran, tapi tidak dalam momen ini.

    Mmm… Yang harus digarisbawahi dari gerakan Amien adalah perpaduan antara gerakan politik-gerakan pemikiran-kultural ideologis. Tak akan kita temui itu di antara orang-orang yang muncul di pusaran sekarang seperti SBY, Mega, Prabowo, Wiranto, JK dst yang syahwatnya luar biasa itu. Mereka-mereka itu bukan tak tahu Amien. Stigmatisasi terhadap Amien Rais itu adalah salah satu gerakan untuk mematikan gerakan ideologis Amien. Ohya, mungkin awak juga tahu, kalau tesis Amien Rais dulu adalah masalah Ikhwanul Muslimin. 😀

    Like

  18. Assalaamualaikum Wr. Wb.

    Bang Nirwan, mohon maaf sudah lama tidak singgah ke blog ini, ternyata sudah banyak yang kasih komentar ya….jadi ikutan tenar nih..hehehe.

    Kalau melihat sejarah kehidupan abang, sepertinya kita punya latar belakang yang mirip bahkan bisa dikatakan hampir sama. Saya adalah anak pertama dari 4 bersaudara, dari keluarga betawi asli berlatarbelakang NU yang sangat kental.

    Ayah dan Ibu saya lulusan IAIN jurusan tarbiyah, seorang guru agama, pula mengelola sebuah madrasah sederhana milik keluarga besar Ayah. Dengan merekalah kami mendapatkan bimbingan ketauhidan berbasiskan kultural NU yang sangat indah, yang membuat saya sangat rindu dengan tahlilan dan sholawatan di mushola dan mesjid2 hingga saat ini. (jika ada masalah dengan lab, sering saya menyenandungkan shalawat, me-relax kan pikiran berharap Allah berikan ide untuk menuntaskan penelitian).

    Mereka berikan fundamental Islami dalam diri-diri kami dengan visi masa depan yang jelas lewat cerita-cerita kepahlawanan Indonesia dan sahabat-sahabat nabi. Modal ini menjadikan kami bercita-cita tidak hanya cukup menjadi manusia yang independen saja tapi mampu berkontribusi terhadap peradaban dunia.

    Pada masa remaja, saya bersentuhan dengan tarbiyah, tentu saja penolakan saya berikan dengan sangat keras, mengingat latar belakang saya yang saya rasa sudah cukup Islami disertai dengan kemampuan keislaman saya yang lebih baik daripada teman2 yang mengajak saya bergabung, baik dari hafalan quran, hadits, bahasa arab dan membaca quran.

    Tetapi, harus saya akui pada saat itu, lingkungan pertemanan mereka lebih baik dengan kelompok-kelompok pertemanan lain di sekolah. Mereka rajin ke mushola, mereka berdiskusi dengan dewasa tentang tema2 keislaman yang berbeda dengan lainnya. Persinggungan persamaan ini yang membuat saya akhirnya jatuh hati, walaupun selama beberapa hari saya diinterogasi orang tua karena terlalu seringnya pulang malam dan menginap di musholla. Entah karena aneh melihat kelakuan anaknya yang tidak lazim dibandingkan dengan anak-anak lain seusia saya.

    Hal mendasar yang membuat saya sangat tertarik adalah visi besar yang ditanamkan dalam tiap pertemuan pekanan. kami dinyatakan sebagai kumpulan manusia besar yang harus bisa berkontribusi terhadap dunia, berkontribusi kebaikan dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Tiap minggu, prestasi akademis kami dikontrol, kegiatan keislaman didiskusikan. Sebagai latihan awal jiwa reformis ini, kami ditantang untuk tidak setuju dengan memakai celana olah raga yang berukuran pendek di sekolah kami dan berusaha melakukan perubahan.

    Kecaman dan olokan dari teman, hingga tamparan dari guru ke muka kami, dijawab dengan prestasi bukan konfrontasi, kami tidak berbicara banyak, ajakan kepada kebaikan yang kami sampaikan tentu saja ditunjukan dengan prestasi akademis yang gemilang akhirnya dengan izin Allah memberikan hasil yang sepadan, setahun kemudian dengan dukungan banyak guru dan teman2, kami bisa berolahraga dengan training panjang, bahkan terbit kebijakan sekolah bahwa semua anak harus bertrainin panjang ketika berolah raga. Kami tidak menganggap ini sebagai hasil akhir, karena ini adalah latihan dari ujian-ujian yang akan diterima esok hari.

    Visi inilah yang membuat kami tertantang dan percaya diri dalam berprestasi, alhamdulillah dengan Ijin Allah, saya dan adik2 tidak ada yang mengecewakan secara akademis, kami semua lulus UMPTN dan diterima di kampus paling populer di negeri ini berlokasi di Jakarta, karena itulah bahasa dakwah pertama kami kepada keluarga, tetangga dan masyarakat sekitar.

    Saat ini, saya, istri, adik, adik ipar, sedang berjuang untuk memberikan kontribusi akademis terakhir (PhD) kepada negeri ini untuk selanjutnya menunggu panggilan berkontribusi riel pada bumi pertiwi sebagai acuan kami melangkah lebih jauh menuju visi selanjutnya yaitu visi peradaban dunia. Tiga dari 4 bersaudara ini sedang berjuang di negeri matahari terbit, belajar dan menyerap pengetahuan untuk kejayaan Indonesia masa depan, sedang si bontot sedang menunggu giliran karena bertugas menjaga Ibu yang mendidik dan mencintai kami, meneruskan cita-cita ayah yang telah meninggalkan kami pada saat kami masih kecil-kecil.

    Mungkin, monolog Anis matta ini bisa memberikan gambaran apa yang sedang membara di hati kami hingga terus mampu berjuang seperti ini.

    http://jp.youtube.com/watch?v=R_nbim-FX30&feature=related

    Wallahu a’lam
    Al-faqir
    Saiful

    Ayo Maju Indonesia, Harapan itu Masih Ada !!!

    walaikum salam warahmah. Alhamdulillah. Tapi saya kok dipanggil abang sih, saya masih kanak-kanak. 😀

    Mudah-mudahan studi Anda cepat selesai, tetaplah rendah hati karena terlalu banyak anak negeri ini yang tak kesampaian sekolah seperti Anda, yang tak seberuntung Anda. Dekatilah mereka walau mungkin di Jepang Anda akan susah menemukan itu. Ikuti apapun kata ibu Anda, apapun itu. Dan jangan sampai menunggu-nunggu panggilan berkontribusi kepada Indonesia, karena Indonesia ini sekarang sudah berada di jurang kehancuran. Tetaplah kritis.

    Saya tak sempat melihat link soal PKS dan Anis Matta itu. Jadi nantilah, kalau saya ada waktu. Salam untuk Anda. 🙂

    Like

  19. pragmatis & sombong.
    seakan akan kehormatan manusia terletak kpd titel,jabatan & kekayaan. (tuhan tidak peduli itu semua)
    jayanya indonesia bukan krn orangnya pinter2 dan kaya2.
    sejauh mana nilai nilai kemanusiaan menjadi budaya di negeri ini.
    liberal kapitalis telah merusak wacana tentang kemanusiaan.
    seakan akan manusia itu seperti barang yg harus mengeluarkan produk.(menghasilkan).
    sebuah negeri yg santun & beribadah mutlak kpd tuhannya.
    itulah negeri impian………………

    Like

Leave a comment