Mantra Kata ”Reformasi” dan ”Indonesia”


Sutardji Calzoum Bachri adalah penyelamat ”kata”. Beban makna membuat kata bisa-bisa tak bermakna lagi. Sama seperti nasib kata ”reformasi” dan (mungkin saja) ”Indonesia”.

* * *

Ada beberapa kemungkinan yang terjadi pada sebuah mantra. Pertama, keampuhannya ditentukan oleh siapa pengucapnya. Yang kedua, mantranya berkhasiat tapi tak sembarang orang bisa membacanya. Yang ketiga, semua orang bisa membacanya dan tingkat keampuhannya pun sama juga. Tapi apakah ada kemungkinan yang ketiga ini?

Mari ke ranah lain sejenak. Orang Islam manapun pasti menganggap, Alquran bukanlah sebuah kalimat sembarangan. Ia diciptakan langsung oleh Tuhan. Karena itu, untuk memegang kitab itu pun setiap orang wajib bersuci lebih dulu. Kata-kata itu begitu disucikan. Anak-anak kecil muslim, yang belum tahu arti katanya, disuruh untuk menghafal dengan melafalkan kalimatnya saja. Kebudayaan Indonesia kemudian mengenal kata ”mengaji”.

Sering diceritakan oleh orang tua, bila anak-anak menghafal ayat kursi, maka dia tidak akan diganggu setan. Terlepas si anak tadi tahu artinya atau tidak. Yang mereka tahu, ayat itu begitu kuat khasiat pelindungnya. Dan seterusnya.

Itu karena, kata dan kalimat itu sendiri sudah suci lebih dahulu, tanpa si individu tadi mengerti maknanya. Dia tak mesti tahu kalau, misalnya, kalimat bismillahirrahmanirrohim berarti dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Sudah sering diungkapkan oleh para guru mengaji, bila kalimat itu diucapkan dengan penghayatan penuh, dan lafal serta makhraj (sumber bunyi)-nya sudah benar, maka bergetarlah jiwanya, merindinglah bulu romanya dan hilanglah segala kesusahannya.

”Khasiat” dari kata itu semakin dalam, misalnya ketika diucapkan berkali-kali dalam ritual dzikir. Ada yang tiba-tiba menangis menyesali perbuatannya, memikirkan anak ataupun orang tuanya dan seterusnya. Itu menandakan, kalimat-kalimat itu sakti mandraguna.

Tak heran, kebudayaan Indonesia banyak mengenal mantra-mantra yang diawali dengan kalimat kitab suci, terutama Islam dan Hindu.

Sudah menjadi kebiasaan pula, ketika seorang dukun memberikan rapalan kepada yang memintanya, tak memberikan arti dari kalimat tersebut. Sang dukun cukup memberikan khasiat dari rapalan tersebut. Ini juga berlaku pada kepercayaan terhadap benda-benda yang bernilai ghaib. Selalu, sebelum misalnya sebuah batu cincin, kayu ataupun barang-barang tertentu digunakan, ada rapalan yang mesti dibaca terlebih dahulu.

Dengan demikian, sebuah kata punya daya magis tersendiri, tanpa harus disertai makna yang dimiliki oleh sang pengucap atau manusia. Inilah yang diinginkan oleh Sutardji Calzoum Bachri dalam puisi-puisinya.

Sutardji mengatakan, kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas. Bila diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.

Ia menyebutkan, kata sudah memiliki pengertian tersendiri tanpa manusia mesti menyematkan kepadanya. Karena itu, kata bisa lepas dari sisi moral manusia sampai lepas dari hal teknis seperti gramatika. Bila kata dibebaskan, kreatifitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri.

”Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya,” tulis Sutardji dalam Kredo Puisi yang ditulisnya pada 30 Maret 1973 yang lalu, yang merupakan kata pengantar dalam buku kumpulan sajak ”O”.

Menulis puisi, bagi Sutardji, adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya, yaitu ”kata”. ”Dan kata pertama adalah mantra. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantra,” tambahnya.

Reformasi
Bak dukun yang (konon) bisa meramal, uraian Sutardji pada 1973 lalu itu, bisa menjelaskan mengapa kata ”reformasi” di Indonesia ini tak juga menemukan tujuannya, substansi maupun simbolnya, sejak dikumandangkan pada 1998 hingga kini di 2008. Tak ada perubahan di Indonesia, yang ada hanya pergantian kekuasaan semata. Soeharto digantikan oleh Habibie dan seterusnya, hingga kini Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden.

Sistem pun tak berubah. Korupsi yang dulu dibesarkan oleh sistem, kini malah semakin menggila: sistemnya pun sudah dikorupsi. Ketika sudah ada kejaksaan dan kepolisian, serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memberantas korupsi, kini kiprahnya malah sudah dikorupsi oleh dan dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK kemudian malah menemukan, banyak korupsi yang dilakukan oknum kejaksaan dan kepolisian. Dengan kacamata ini, maka tak perlu menjadi dukun untuk meramalkan, di masa depan ada kemungkinan KPK juga terjerat korupsi. Itulah yang dinamakan, sistem pun sudah terkorupsi.

Merunut pada Sutardji ini, itu semua karena kata ”reformasi” sudah bukan mantra lagi. Kata itu sudah kehilangan daya magisnya karena beban makna yang diberikan kepadanya. Dulu, siapakah yang berani berhadapan dengan kata reformasi?

Kini, semua orang sudah bisa merapal reformasi, baik mereka yang benar-benar reformis, sampai mereka yang dulu justru jadi sasaran reformasi. Dan, kata reformasi semakin tak bermakna, ketika orang yang tak tahu reformasi itu apa, kini ditugaskan menjelaskan soal reformasi.

Itu karena, reformasi tak lagi menjadi pengertian tersendiri. Ia sudah masuk dalam kawasan perang diskursus yang membolehkan multitafsir kepada dirinya. Reformasi menjadi objek yang diperdebatkan, bukan dilakukan. Reformasi tak boleh dan tak bisa bergerak dengan sendirinya karena ia sudah disematkan makna yang macam-macam. Reformasi, kini tak memiliki ruang dan hak lagi untuk mendefinisikan dirinya sendiri.

Bila kata ”reformasi” saja sudah dibegitukan, maka bukankah hal yang sama bisa terjadi pada kata ”Indonesia”?

2 thoughts on “Mantra Kata ”Reformasi” dan ”Indonesia”

Leave a comment