Tulisan Halus Kasar, Apa Kabarmu?


Tulisan halus kasar masih menjadi mata pelajaran wajib di tingkat Sekolah Dasar (SD). Guru mengaku tulisan anak-anak menjadi lebih rapi dan seragam. Tulisan huruf sambung sudah tak diminati anak sekarang.
* * *

Seorang anak SD memegang pensilnya. Tangannya agak gemetaran. Sembari menggores buku yang punya garis-garis khusus itu, matanya menatap ke papan tulis. Di sana, gurunya baru saja selesai menuliskan kalimat ini: Raja Adil Disembah, Raja Lalim Disanggah. Tulisan dengan model tulisan sambung di papan tulis itu bagus betul. Mata pelajaran waktu itu memang khusus menulis indah: menulis halus kasar.

Mata pelajaran ini memang khusus diberikan kepada siswa SD saja. Dimaksudkan agar anak didik sejak tingkat dasar dapat menulis teratur, indah, rapi dan …. nah, bersambung.

Tulisan huruf sambung (dan miring) memang sudah lama tak kelihatan lagi di zaman “modern” ini. Kalaupun ada, umumnya hanya dipakai oleh orang yang tak muda lagi. Remaja tingkat SMP, SMA hingga kuliah, bahkan mereka yang sudah bekerja, sudah lama terbiasa dengan model tulisan tegak berdiri dan setiap huruf dituliskan terpisah. Umumnya, generasi ini dimulai pada generasi 1980-an akhir.

Misalnya saja Lestari Pulungan, seorang customer service pada salah satu vendor telekomunikasi swasta. Dia mengaku tidak bisa menulis sambung. “Aku tak pandai menulis sambung. Jadi gagok gitu,” katanya sambil tersenyum manis. Tari mengaku, dulu sewaktu SD, di tahun 1990-an dia memang belajar tulisan sambung. “Namanya dulu tulisan halus kasar. Tapi tetap aja gak bisa, hehehehe…,” katanya sambil terkekeh geli. Tapi dia pun mengaku, soal itu tak terlalu dipersoalkan atasannya. “Yang penting jelas dan bisa dibaca,” ujarnya lagi.

Abdul Latief Rusdy Spd, guru kelas SDN 064995 Medan Deli berujar, mata pelajaran tulisan halus kasar itu masih diajarkan di tingkat SD. “Masih kurikulum wajib, kok. Dia masuk dalam komponen Bahasa Indonesia,” katanya.

Latief yang alumni Universitas Negeri Medan (Unimed) ini mengatakan, justru dari pelajaran yang diberikan guru itu, anak didik dapat diasah kemampuan menulisnya. “Yang penting kita sudah ajari dasar-dasarnya. Model tulisan seperti orang-orang tua kita dulu itu, memang sudah langka ditemui,” terang Latief lagi. Justru, tambah dia, saat ini kecenderungan siswa-siswa didiknya bisa kelihatan lebih seragam dalam menulis huruf sambung.

Tulisan model “khas orang tua” ini memang menjadi “momok” sendiri bagi “anak muda”. Sudah layak diketahui umum, tulisan model bersambung dan miring ini, lebih banyak ditemui di kalangan orang-orang tua siswa. Dan Anda pun mesti membongkar dengan teliti bila ada anak SMP, SMA hingga mahasiswa yang menerapkan model huruf sambung ini. “Yah, umumnya generasi sebelum tahun 1980-an, lah. Tapi bukan berarti anak muda sekarang tak ada yang menguasai model itu,” jelas Latief yang mengajar siswa kelas 1 hingga kelas 6 SD ini.

Agaknya, titik “pubertas” menuju tingkat remaja bisa ditelisik sendiri. Mulai tingkat remaja, SMP dan SMA, model tulisan sudah berubah. Apalagi di tingkat itu, sudah tidak ada lagi mata pelajaran tulisan halus kasar. Mourry Augusti misalnya. Pria kelahiran Pangkalan Berandan yang sekarang berusaha di bidang agrobisnis ini, mengaku, ia beralih tulisan menjadi tulisan tegak dan terpisah sejak SMP. “Namanya anak muda. Dulu kalau pake tulisan sambung diejekin, ‘tua kali tulisan ko’,” ucap Mourry yang kelahiran tahun 1978 ini sambil tergelak.

Namun, ia pun mengaku, sejak akhir SMA dan di tingkat kuliah, ia sudah menerapkan kembali tulisan miring sambung itu. “Yah, gak persis sama waktu pelajaran halus kasar dululah. Tapi kalo pake tulisan itu kelihatan lebih dewasa dan intelek. Gak tau juga benar apa nggak,” tuturnya ketika ditemui di kantornya.

Huruf Indah
Sudah lama, menulis huruf dijadikan salah satu dimensi seni tersendiri. Karena itu pula, pemerintah memasukkan hal ini dalam kurikulum bahasa dan sastra Indonesia. Kehalusan dalam “mengukir” aksara yang 26 huruf itu, dijadikan salah satu model untuk menanamkan kehalusan jiwa peserta didik.

Model pembelajarannya dengan sistem repetisi. Artinya, siswa disuruh untuk mengulangi dan meniru berulang-ulang sebuah tulisan yang dibikin oleh gurunya.

Bukunya pun khusus. Hingga sekarang, buku untuk pelajaran halus kasar dicetak khusus. Modelnya bervariasi, misalnya satu lembar kertas yang diberi tiga garis lebar dan satu garis agak halus (kecil). Dengan tingkat besaran yang berbeda-beda, peserta didik diarahkan untuk mengikuti pola dasar yang sudah diajarkan oleh guru. “Hasil tiap siswa itu tidak pernah sama, walau yang mereka ikuti di papan tulis itu cuma satu saja,” terang Latief lagi.

Latief tak menampik, pelajaran ini untuk mengasah nilai seni peserta didik dari sisi kaligrafi huruf (latin) Indonesia, selain teknik untuk menyambung huruf. Siswa dituntut tidak hanya mengenal huruf tapi juga mampu membuat versi lain dari huruf itu. “Kalau diberi ponten (nilai) sama guru, sebenarnya itu apresiasi saja terhadap improvisasi dan kerajinan si anak. Jadi kan si anak bisa tahu kalau tulisannya itu jelek atau bagus. Itu saja,” katanya lagi. Selain itu, kalimat yang menjadi contoh pun, kebanyakan diambil dari khasanah budaya Indonesia, misalnya peribahasa dan pantun.

Soal tulisan dan bahasa Indonesia ini, beberapa penelitian menarik pernah dilakukan oleh Departemen Pendidikan dengan menggunakan dua Proyek Bank Dunia yaitu PEQIP dan Proyek Pendidikan Dasar (Basic Education Projects) yang juga digunakan dalam program MBS dari Unesco dan Unicef.

Riset ini dilakukan di beberapa SD di Indonesia untuk mendapatkan gambaran dari hasil pembelajaran Bahasa Indonesia di tingkat SD. Dari tes menulis dinilai berdasarkan lima unsur yaitu tulisan tangan (menulis rapi), ejaan, tanda baca, panjangnya karangan dan kualitas bahasa yang digunakan. Bobot dalam semua skor adalah tulisan (15%), ejaan (15%), tanda baca (15%), panjang tulisan (20%), dan kualitas tulisan (35%).

Hasilnya, hanya 19% anak bisa menulis dengan tulisan tegak bersambung dan rapih. Sedangkan 64% bisa menulis rapi tetapi tidak bersambung. Hanya 16% anak menulis tanpa kesalahan ejaan dan 52% anak bisa menulis dengan ejaan yang baik (sebagian besar kata dieja dengan benar), sementara lebih dari 30% dari kasus menulis dengan kesalahan ejaan yang parah atau sangat parah. Perbedaan hasil antarsekolah pun sangat mencolok.

Penelitian itu juga menemui alasan mengapa begitu banyak anak yang mengalami kesulitan dalam menulis karangan dengan kualitas dan panjang yang serta dengan menggunakan ejaan dan tanda baca yang memadai. Tak lain, anak-anak di banyak kelas jarang menulis dengan kata- kata mereka sendiri melainkan lebih sering menyalin dari papan tulis atau buku pelajaran.

Data ini memang cukup mengkhawatirkan, apalagi mengingat jam pelajaran Bahasa Indonesia sendiri memiliki porsi yang cukup banyak.

Kembali ke soal penulisan tadi, tidak berlanjutnya mata pelajaran halus kasar di tingkat SMP dan selanjutnya justru menguak persoalan tersendiri. Selain tidak menjadi trend sendiri bagi siswa, guru-guru juga ternyata lebih senang bila siswanya memakai tulisan tegak terpisah daripada tulisan sambung. “Yah, kan ada istilah tulisan cakar ayam. Isinya gak bisa dibaca…,” terang Latief. Menurut dia, hal ini membuat pelajaran menulis rapi di tingkat SD jadi terkesan sia-sia belaka.

Mudah-mudahan, di masa depan tulisan huruf sambung rapi tak sekedar sejarah ya… (*)

11 thoughts on “Tulisan Halus Kasar, Apa Kabarmu?

  1. salam kenal.
    emang anak harus diajari menulis, akan tetapi lebih kelihatan kreatif bila anak menulis dengan gayanya sendiri. Dngan tulisan tangan kita bisa melihat karakter si anak dengan grapho-therapy

    Like

  2. tulisan tgn dt mah beda2..
    bs berubah2, sesuai mood gitu.. xp
    aneh yah??! 🙄
    *jd inget pljrn Jarlisku (tulisan bersambung) pas zaman SD*

    Like

  3. jadi ingat waktu masih sekolah dulu, tulisan yang selalu berubah2, hanya untuk mencari mana yang bagus. tapi memang tulisan tegak bersambung pada jaman sekarang susah ….pada era 90 an tulisan tersebut paling2 hanya dimiliki oleh guru dan dokter, tapi sekarang banyak guru yang g’ bisa menulis tegak bersambung. dalam grafologi tulisan tangan mencerminkan karakter yang punya tangan ……percaya ato tidak ttg karakter itu …..tergantung kalian semua. klo aku sendiri sih …..karakter itu ada yang sama dengan diri saya.

    Like

  4. saat terima raport anak saya,cowo kelas 1 semester lalu. Saya mencoba mengerti ketika guru kelas anak saya bilang anak saya rangking 20 Pikirku heran karena ulangan harian selalu kepala 9 bahkan tak jarang 10bulat, demikian tak berbeda ulangan semester hasilnya sebanding. Bu guru bilang, pr nya juga mempengaruhi penilaian. Oh, saya sempat melongo. Ternyata menulis halus menciptakan peringkat rangking kelas. Awalnya saya bingung tapi lucu juga bag saya. kalo ini sih bukan masalah bagi saya.Pr tak masalah, kecuali menulis sambung memang selalu 6. Besar kecil,panjang pendek,bentuk tulisan mesti sama persis contoh buguru,miring sedikit dapat coret spidol merah. Tulisan anak saya besar-besar tapi masih bisa dibaca. Untuk dpt nilai 7, saya mesti koreksi per huruf dan dia harus menggunakan pensil tajam bar tulisannya agak kecil. Untungnya saya tdk punya target rangking terhadap anak saya dan semuanya tetap berjalan seperti biasa. Memang setelah ada kegiatan tambahan menulis ulang prnya di buku rumah, itupun setelah belajar sore serta semampunya,hanya biar dia lebih luwes pegang pensil. Bagi saya, asal anak punya semangat belajar (mau sendiri tidak dipaksa orangtua/guru les)sudah cukup, apalagi hasilnya dia sudah mengerti semua pelajaran di sekolah,cukuplah, apalagi anak kelas 1 SD,cari apa..jadi menterinya masih jauh. Lebih lucunya, kakaknya kelas 3 di sekolah yang sama boleh menulis model apapun. jadi apa gunanya buguru kelas 1 idealis ttg tulisan halus?Menurut saya, menulis halus di sekolah-sekolah bukan masalah murid dan orangtuanya tetapi beban guru,pemikir-pemikir pendidikan,departemen kurikulum ,tujuannya nampak bias.

    Like

  5. Tulisan tangan, meskipun keliatan sepele, sebenarnya merupakan cerminan kepribadian seseorang. Mungkin anda pernah mendengar cerita tentang Steve Jobs? pendiri Apple Inc. ? dia dulunya ambil mata kuliah kaligrafi dan liat hasilnya sekarang di Sistem Operasi Mac OS, semuanya benar-benar “*cling*”. Belajar menulis indah tidak hanya membuat anak belajar tentang huruf dan tulisan saja. Hal itu bisa membuat anak belajar tentang ketekunan, ketelitian, keteraturan, kreatifitas, kesempurnaan, imajinasi dan bisa mengasah “sense of art” si anak. Ini mungkin hampir sama dengan belajar menggambar atau musik, mungkin lebih kepada belajar musik ya? (karena untuk belajar gambar, mungkin tidak ada kaidah baku).
    Di Indonesia mungkin arts tidak terlalu diperhatikan yah? Kita menganggap logic lebih penting dan bagus (anak pintar dan cerdas karena fasih berhitung?) padahal arts sangat penting bagi perkembangan jiwa dan pikiran (arts sudah ada bahkan sebelum logic). Arts yang digabungkan dengan logic akan sangat berguna, apalagi bagi anak-anak. Contohnya mungkin adalah music (including song) dan writing ini.
    Hal yang disebutkan sama mas Nirwan di atas itu mungkin juga penyebab kurangnya kesadaran akan typography oleh para designer web di Indonesia (maaf, sedikit menyimpang). Padahal kalau typographynya bagus, pake huruf ceker ayam pun hasilnya pasti akan enak dilihat.
    Mungkin sudah saatnya anak-anak Indonesia diajar untuk lebih menghargai seni, kebudayaan, dan alam. Tidak melulu angka, robot, dan hitung menghitung.

    Like

  6. Bang kalo ngomong yang ini aku nggak ngarti bang ? kurang serem..
    yg enak itu ya nulis tentang kamu dan aaanu hihihihi

    Like

  7. Bang…

    Salam kenal..anakku yang TK B baru diajarkan menulis indah..mungkin ini diharapkan sebagai pemanasan sebelum duduk di bangku SD..

    Kemarin anakku dapat PR menulis sesuai contoh dari Ibu Gurunya…awalnya dia segan karena merasa hurufnya jadi sulit ditulis..tapi setalah aku jadi “juru parkir” hehe..dia malah senang mengerjakan PRnya itu…

    salam kenal juga .. wah juru parkir nya galak kale … 😀

    Like

  8. menarik sekali artikelnya, TFS.
    saya sendiri punya anak yg baru mau masuk SD kelas 1 dan dari sekarang oleh guru TK besar sudah diajari menulis halus. saya masih belum melihat kegunaan menulis halus… karena akhirnya anak terpaku pada “menghias” tulisan daripada menangkap isi dan tujuan pelajaran tersebut.

    apalagi nanti kalau sudah besar, smp, sma, kuliah, bahkan kerja menulis halus itu kan ga dipake. yang harus ditekankan mungkin melatih anak membuat tulisan yang terbaca…

    Like

  9. Menulis sambung sangat2 bermanfaat untuk menulis cepat pada saat kuliah atau pada saat kita mbuat catatan yg terburu2. Kalo mnggunakan huruf cetak biasa lama n jadi bnyak ketinggalan.

    benar 🙂

    Like

Leave a comment