Hang Tuah dan Pertobatan Budaya


Dulu, masyarakat Sumatera Utara mendapat siaran televisi gratis dari negara tetangga, Malaysia. TV3, RTM (Radio dan Televisi Malaysia) 1 dan 2, bisa dinikmati di beberapa daerah Sumut. Salah satu program yang memikat adalah program film-film melayu. Umumnya, lakonan P Ramlee, merupakan ikon dari film-film Melayu. Salah satu filmnya yang terkenal adalah Hang Tuah.

Banyak versi dari Hang Tuah, selain yang dibuat P Ramlee. Namun, garis merahnya tetap ada. Diceritakan, dalam zaman kemakmuran Kesultanan Malaka, Hang Tuah adalah seorang laksamana yang amat termasyhur. Ia berasal dari kalangan jelata. Karena keberanian dan loyalitasnya pada sang Sultan, ia amat dikasihi dan pangkatnya semakin naik. Jadilah ia seorang duta dan mewakili negaranya dalam segala hal. Seorang laksamana raja di laut, meminjam sebuah judul lagu yang pernah mengundang konflik panjang itu, menakhodai kapal lancang kuning.

Hang Tuah memiliki beberapa sahabat karib yaitu Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Beberapa pendapat mengatakan, kelima kawan ini adalah versi Melayu dari para Pandawa Lima, tokoh utama dalam Mahabharata.
Hang tuah
Pada masa mudanya, Hang Tuah beserta empat temannya membunuh sekelompok bandit-bandit dan dua orang yang berjaya menghancurkan desa dengan amarahnya. Bendahara Negara (sederajat dengan Perdana Menteri dalam sistem pemerintahan sekarang) Melaka mengetahui kehebatan mereka dan meminta mereka untuk berkerja di istana. Semasa bekerja di istana, Hang Tuah membunuh seseorang petarung dari Jawa yang terkenal dengan sebutan Taming Sari, karena mempunyai sebuah keris berjuluk Taming Sari. Konon keris itu dapat membuat pemiliknya memiliki ilmu menghilangkan diri.

Hang Tuah kemudian dituduh berzinah dengan pelayan Raja dan melalui keputusan yang cepat, raja menghukum mati laksamana yang tidak bersalah itu. Namun, hukuman mati tidak pernah dilaksanakan. Hang Tuah disembunyikan di suatu tempat oleh Bendahara.

Setelah mengetahui Hang Tuah akan mati, teman seperjuangan Hang Tuah, Hang Jebat, dengan murka membalas dendam melawan raja. Ia menggalang pemberontakan dan mengakibatkan kondisi keamanan menjadi kacau-balau. Raja menyesal menghukum mati Hang Tuah. Pasalnya, dialah satu-satunya yang mampu membunuh Hang Jebat. Secara tiba-tiba, Bendahara memanggil kembali Hang Tuah dari tempat persembunyiannya dan dibebaskan secara penuh oleh raja. Setelah tujuh hari bertarung, Hang Tuah mereklamasikan keris Taming Sari-nya dari Hang Jebat dan membunuhnya di dalam pertarungan. Setelah teman seperjuangannya gugur, Hang Tuah menghilang dan tidak pernah terlihat kembali.

Sebuah episode lama ini kemudian berulang. Satire dari Hang Tuah soal pengkhianatan, politik busuk, dan perjuangan menyembul saat sekarang. Kesetiakawanan kemudian dibenturkan pada loyalitas pada penguasa.

Beberapa versi menyebutkan Hang Tuah membunuh Hang Jebat atas dasar “tugas negara”. Bukanlah keris Taming Sari yang membunuh Hang Jebat, tapi adalah air mata Hang Tuah dan kerelaan dari Hang Jebat untuk “dibunuh” oleh Hang Tuah. Kekuasaan pun menjadi pemenang sesungguhnya.

Pertobatan
Dominasi kekuasaan negara dan penguasa, terhadap individu dan hubungan individu mengemuka jelas saat ini. Kesusasteraan Amerika yang mulanya bercerita soal kehidupan sosial politik masyarakat, mulai perbudakan, emansipasi, demokrasi, dan seterusnya, berpindah ke ruang “individu” pada kurun modern, pasca 1980-an. Ruang sosial kemudian menjadi milik pemerintahan dengan sebuah asumsi bahwa demokrasi telah tertata dengan baik. Instrumen negara, alat negara, sistem politik pemerintahan, telah mampu menjamin masyarakatnya untuk memperoleh kebebasan individu. Apalagi yang diperbincangkan ketika semua sistem sudah berjalan pada relnya? Mungkin begitu klaim Amerika.

Kurun waktu itu, Indonesia mulai mencoba untuk memasuki ruang individu. Adalah perilaku selebriti menjadi perbincangan seantero negeri dengan faktor media yang luar biasa ruang geraknya. Bahkan beberapa waktu, pembenturan antara ruang publik dengan ruang sosial politik coba dibenturkan misalnya dengan kasus dugaan “perselingkuhan” antara seorang ketua umum partai politik besar dengan seorang artis. Disinyalir, politisi bermain di balik itu semua. Tujuannya, memanfaatkan popularitas dan kegemaran masyarakat Indonesia untuk menggosip ria, demi menjatuhkan pamor sebuah partai politik.

Partai itu memang bukan Hang Tuah, yang dituduh berzina dengan pembantu istana. Pun partai itu belum mendapatkan hukuman sosial dan disembunyikan oleh Bendahara Negara. Tapi, jelas sekali ketika peristiwa itu dikhawatirkan akan memunculkan Hang Jebat baru, yang berusaha membela teman senasib sepenanggungan, atas nama solidaritas, untuk sebuah pemberontakan sosial.

Tapi kemudian, langkah politik memang mudah ditebak. Kekuasaan akan memunculkan instrumen lain untuk menghantam pemberontakan para “hang jebat kecil” ini, dari ranah yang sama. Pengkhianatan dan perang saudara pun menjadi benang merah cerita politik di manapun.

Perang saudara bukan tak pernah terjadi di Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara dunia yang penuh dengan tragedi perang saudara. Sama riwayatnya seperti dalam lagu “Dari Sabang Sampai Merauke”. Ironisnya, bukanlah perang saudara itu kemudian menimbulkan apa yang disebut “Amerika Baru” pasca perang Sipil di pertengahan abad 19. Indonesia kemudian tersudut dalam krisis yang berkepanjangan.

“Moralitas” memang menjadi barang langka, yang didukung, dimaki, maupun dimunafikkan di negeri ini. Seperti disindir dalam hikayat Hang Tuah, adalah persoalan “tuduhan” zina yang mengakibatkan negeri Malaka kemudian kehilangan laksamana terbaiknya, dalam segala maknanya. Seperti juga riwayat Yusuf dan Zulaikha dulu, yang membuat Yusuf dipenjara. Toh, Yusuf kemudian mendapatkan petunjuk tentang persoalan negeri Mesir dan menjadi pembesar kembali serta kawin dengan Zulaikha.

Seperti juga ketika Adam melangkahi petunjuk Tuhannya. Adam perlu waktu untuk membuktikan bahwa ia sedang menjalani pertobatan. Ia melangkahi surga yang notobene adalah ruang pribadi miliknya bersama Hawa, menuju ruang bumi, sebagai ruang publik, tempat segala persoalan dan tempat dimana pertobatan dilakukan. Dalam syariah agama, bumi kemudian menjadi anak kunci dari daun pintu kembali bernama kubur, menuju ruang pribadi bernama syurga ataupun neraka.

Dengan demikian, budaya juga merupakan salah satu metode pertobatan sosial yang dijalani umat manusia. Dan, P Ramlee pun bersenandung lirih soal Hang Tuah :

“Berkorban apa saja …
Harta ataupun nyawa…”

* * *

foto: http://www.geocities.com/filemelayu/gambar/filem/hang_tuah1b.jpg 

5 thoughts on “Hang Tuah dan Pertobatan Budaya

  1. Riwayat Hang Tuah perlu dilestarikan, demi sikap satria. Teladan generasi muda, bukan cerita impor negeri asing, yang meracuni anak2 hingga orang dewasa.

    Like

  2. saya banggabahwa bangsa melayu mempunyai pendekaryang tangguh seperti hangtuah dan rekannya.smoga bangsa melayu di sengani bangsa laenya.

    ya sya juga. ini cerita yang sudah saya dengarkan sejak saya belum bisa baca. 😀

    Like

  3. Bangsa Indonesia dijajah oleh Belanda selama 3,5 abad, waktu yang sangat lama. Tetapi adakah kita mengambil hikmah dari kejadian ini?. Nampaknya bangsa kita tergolong masyarakat pendendam, kelihatannya asumsi ini berseberangan dengan pendapat umum yang selama ini kita anut. Bukankah bangsa kita dijajah disebabkan oleh takdir yang ditentukan oleh Sang Maha Kuasa, mengapa saya mengatakan takdir, sebab waktu yang lalu tidak akan berulang lagi. Nah, kalau saja kita sadar dan mengambil hikmah dari segala kesengsaraan yang telah diderita nenek moyang kita, tentulah negara kita tidak seperti sekarang ini. Bangsa Belanda memiliki tingkat disiplin yang tinggi, teknologi yang tinggi, negara dibawah laut tidak banjir (bandingkan negara kita), kearsipan yang telah diakui seantero dunia, memiliki bahasa yang berpengaruh di-eropa dan banyak lagi keunggulan yang dimiliki oleh mantan tuan kita ini, tetapi adakah keunggulan-keunggulan ini ada yang tertinggal bagi kita saat ini?, sungguh ironis, telah sangat banyak pengorbanan yang diberikan bangsa kita selama penjajahan kompeni ini, yang tertinggal bagi kita saat ini tiada lain adalah sifat jelek yang dimiliki oleh bangsa penjajah ini, yakni adu domba.

    Like

Leave a comment