Al-Amin


oleh Dr Haedar Nashir

(Pengurus PP Muhammadiyah)

* * *

Kenapa para Nabiyullah ternama bergelar Al-Amin? Sosok yang sangat tepercaya. Nabi Muhammad diberi predikat al-amin jauh sebelum diangkat sebagai Rasul, ketika berhasil mempersatukan elite dan kabilah Quraisy yang berselisih tatkala membangun Ka’bah. Putra Abdullah bin Abdul Muthalib itu telah menjadi figur baru yang memberikan harapan cerah bagi masyarakat Arab, kendati di belakang hari harus berhadapan dengannya karena membawa agama baru, Islam.

Sejarah akhirnya mencatat, dengan sifat al-amin dan risalah kenabiannya, Muhammad berhasil membebaskan dan mencerahkan seluruh masyarakat di jazirah Arabia, sekaligus menjadi sosok panutan seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Nabi kekasih Tuhan ini benar-benar menjadi pribadi dan pemimpin dunia yang memancarkan uswah hasanah. Lebih dari itu, Muhammad SAW bahkan telah menorehkan Islam sebagai agama rahmatan lil-‘alamin. Pembawa agama rahmat bagi semesta alam.

Kekuasaan dan KursiMusa alaihissalam disebut pula qawwiy al-amin. Sosok Nabi yang kuat sekaligus tepercaya. Dengan sikap tegas dan kokoh pendirian, Musa juga menjadi sosok yang amanah. Nabi putra Imran bin Qahits bin Lawi bin Ya’qub ini berhasil meruntuhkan rezim super-otoritarian Fir’aun dan membangun peradaban baru Bani Israil yang beriman kepada Allah.

Melalui Musa yang qawwiy al-amin itu, Islam hadir sebagai agama pembebasan. Pembongkar segala bentuk penindasan dan pembelengguan hidup umat manusia dalam kungkungan rezim kafir dan paganisme. Menjadi Nabi pembawa misi perjuangan kaum dhu’afa dan mustadh’afin melawan kedigdayaan rezim diktatorial Firaun yang borjuis dan penindas.

Yusuf alaihissalam pun bergelar “al-makin al-amin”, begitu julukan raja Mesir Rayyan Bin Walid kepadanya. Yakni sosok manusia yang memperoleh jabatan tinggi tetapi tepercaya. Tuhan bahkan memberi Yusuf predikat “al-hafid” dan “al-‘alim”. Nabi kelahiran kota Fadan Aram itu adalah Nabi pemegang jabatan publik yang cakap atau mampu memelihara jabatan yang diembannya sekaligus tepercaya. Nabi Muhammad bahkan menyebut Nabi Yusuf sebagai “al-karim ibn al-karim”, sosok mulia dari anak keturunan yang mulia.

Dengan sifat cakap dan amanah itulah Nabiyullah nan tampan dan murah hati itu berhasil membawa rakyat dan negeri Mesir menjadi makmur, aman, dan damai. Nabi putra kinasih Ya’qub alaihissalam itu adalah sosok negarawan teladan yang mampu mengubah sebuah bangsa dan negara dari bencana kelaparan dan kekeringan menjadi gemah ripah lohjinawi. Dari Nabiyullah yang satu ini risalah Tuhan ditransformasikan menjadi agama yang menebar etos kemakmuran di muka bumi ini.

Kita sedikit berandai-andai. Bagaimana jika negeri Indonesia tercinta ini dipimpin oleh sosok-sosok elite pemangku jabatan publik yang memiliki sifat al-amin? Para pemimpin pemerintahan dan tokoh-tokoh wibawa yang amanah. Sosok-sosok yang tepercaya secara lahir dan batin. Tepercaya pikiran dan tindakannya. Amanah dalam segala kebijakannya ketika mengurus negara dan hajat hidup publik. Termasuk amanah dalam memelihara dan melaksanakan janji yang diikrarkan ketika kampanye.

Jika para pemimpin dan elite negeri tercinta yang terhormat itu mampu menghiasi dirinya dengan sifat-sfat al-amin, sungguh beruntung bangsa Indonesia yang sudah merdeka 62 tahun ini. Namun jika menyaksikan gelagat umum, tampaknya masih jauh panggang dari api. Sifat amanah atau al-amin itulah yang kini terasa hilang dari para elite publik di negeri ini, kendati tentu saja selalu ada yang tersisa dan masih amanah.

Tengoklah betapa banyak urusan serba tertunda dan kian ruwet. Bila menyangkut keluhan dan pengaduan rakyat kecil seing lambat bahkan terabaikan untuk diselesaikan, sebaliknya jika menyangkut kepentingan kelas papan atas seringkali ringan penyelesaiannya. Malah muncul ironi, para elite politik lebih responsif atas urusan dirinya seperti menaikkan gaji dan fasilitas, ketika urusan rakyat yang diwakilinya banyak yang tak terjamah. Para koruptor, perusak kekayaan negara, dan penghancur negeri masih banyak yang berkeliaran dan sebagian malah secara menyolok mata dibebaskan. Semua itu terjadi karena para pemegang kunci jabatan publik tidak amanah, bagaikan pagar makan tanaman.

Eloknya, di negeri yang kian penuh beban ini bahkan para pemimpinnya seolah kelebihan syahwat-kuasa. Mengalami inflasi ambisi yang tumpah-ruah di sejumlah tempat, dari pusat hingga ke daerah-daerah. Dari hari ke hari kita menyaksikan kian bermunculan orang yang mendeklarasikan diri siap menjadi presiden atau wakil presiden. Siap menjadi gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota.

Alhamdulillah, rupanya negeri ini memang tak akan kehabisan stok para calon pemimpin yang siap untuk memimpin bangsa. Soal apakah nanti benar-benar menjadi pemimpin yang al-amin, tinggal menunggu pembuktian saja. Tinggal menanti dan menagih bukti saja, sambil berdoa semoga pada selamat sampai ke tujuan.

Aroma hasrat kuasa itu bahkan kian menular ke ranah-ranah organisasi-organisasi kemasyarakatan. Termasuk di sebagian para elite dan organisasi kaum muda. Bagaimana saling berlomba merebut dan meretas jalan ke kursi-kursi jabatan publik di pemerintahan. Politik kini jadi panglima sekaligus pesona baru yang menggairahkan para elite ormas kepemudaan. Argumentasinya sangat logis dan indah, bahwa politik itu sangatlah penting dan strategis untuk memecahkan urusan-urusan rakyat, yang tak akan mampu dipecahkan oleh lembaga-lembaga dan alite-elite partikelir.

Hasrat kuasa itu tentu wajar adanya sejauh rasional. Namun selalu ada masalah dengan energi manusia yang satu ini. Potensi ambisi seringkali tumbuh menjadi energi ambisius, lalu mekar menjadi love of power atau gila kuasa. Lantas berlaku hukum israf, keberlebihan. Berkuasa secukupnya berubah menjadi kekuasaan sepanjang hayat. Hasrat kuasa akhirnya tak setara dengan tanggung jawab. Padahal segala sesuatu yang melebihi takaran biasanya tidak baik. Malah bisa menjurus ke penyakit ta’bid ‘an siyasiyah, jenis penghambaan diri pada nafsu kuasa. Sebelum berkuasa serba siap dan seolah amanah, namun setelah berkuasa malah lupa janji semula.

Negeri ini terlalu banyak inflasi para elite yang siap berkuasa tetapi nihil spiritualisasi kekuasaan. Sebutlah spiritualisasi al-amin. Kini yang diperlukan dari lubuk hati para elite di negeri ini ialah, bagaimana memberi porsi sekadarnya terhadap hasrat kuasa. Sekaligus memperbesar jiwa pengkhidmatan yang lahir dari panggilan nurani yang jernih untuk sebesar-besarnya meringankan beban rakyat yang dipimpin. Hasrat kuasa tak boleh melebihi takaran, apalagi meluap-luap hingga ke gila kuasa. Kekuasaan bukan untuk mengambil, tetapi untuk memberi.

=====

Sumber tulisan: http://www.muhammadiyah.or.id

sumber foto: http://www.pbs.org/wgbh/pages/roadshow/speak/images/chair_lg.jpg 

Leave a comment