Kota Medan, Kota (Tak) Berseni?


Kota Medan menggeliat tajam. Wajah kota lama hampir hilang sementara bangunan baru yang kosmopolit bermunculan. Jalanan dan gedung pun penuh dengan billboard. Sayang, ruang publik masih minim. Kota tak berseni?

* * *
Tak terlalu susah untuk mencari daerah kumuh di Medan. Datanglah ke kawasan pinggir kota Medan. Misalnya jalan-jalan ke Jalan Bakti atau Arif Rahman Hakim sekarang. Di sepanjang jalan itu, sampai ke jalan Aksara, ada tiga pajak atau pasar, pasar bakti, pasar sukaramai, dan pasar aksara (plus pajak bengkok). Duh, dari tiga pasar utama di sepanjang jalanan itu, terlihat pasar sukaramai-lah yang paling kumuh. Namun, jangan menghina dulu. Pasalnya, tuh pasar juga yang paling ramai pengunjungnya. Bila pakai logika sederhana, maka pasar itu yang paling tinggi omzet penjualannya. Data pastinya, bisa Anda dapatkan pada Dinas Pendapatan atau pun PD Pasar Medan (kalau mereka punya).

Untuk arsitek bangunan di sepanjang jalan itu, dominasi rumah toko (ruko) terlihat jelas. Seakan-akan, tidak ada arsitek di kota ini yang mampu membuat bangunan selain dalam bentuk ruko. Yang membuat kesan lebih sumuk adalah jaringan kabel listrik. Untungnya, masih ada pulau jalan yang ditumbuhi pohon. Suasana sedikit hijau dan teduh walau tidak bisa menghilangkan asap knalpot kendaraan dan debu beterbangan.

Pulobrayan Kota Medan

Pemandangan yang juga “keren” terlihat di Brayan. Sebagai salah satu titik dari jalur distribusi logistik jaman dulu (jalur Kesultanan Deli dari Labuhan – Kesawan – Istana Maimun – Deli Tua), lihatlah betapa semrawutnya “sub kota” itu. Sebagai perempatan (bahasa Medan-nya persimpangan) besar, jalan yang berkapasitas empat kendaraan itu, terasa sempit. Ratusan Pedagang kaki lima yang menggelar dagagannya di bahu dan pinggir jalan itu masih ditingkahi oleh jubelan angkutan kota yang juga ngetem di pinggir jalan. Jalan layang yang menjadi trade mark Brayan (dan hanya satu-satunya di kota Medan) yang semula dimaksud untuk mengurangi kepadatan lalu lintas di daerah itu, anehnya justru kelihatan semakin mempersempit jalan. Dari segi estetik? Wah, jangan bandingkan dengan jalan layang Semanggi di kota Metropolitan Jakarta yang terkenal itu. Agaknya, masyarakat kota Medan perlu menggigit jari kalau mengharapkan segi fungsional dan estetik dari jalan layang yang jaraknya beberapa ratus meter dan dikerjakan bertahun-tahun itu.

Tapi, kawasan kumuh – yang pasti tidak indah itu – tidak cuma di pinggir. Lihat saja di inti kota Medan, kawasan kumuh umumnya terletak di jalur hijau. Misalnya di sepanjang bantaran sungai Deli dan sungai Babura yang membelah kota Medan. Entah bagaimana rencaha pemerintah kota Medan untuk mempermak sungai ini. Mungkin analogi sungai-sungai itu akan seperti keindahan sungai Thames yang membelah kota London, Inggris, masih akan menjadi bayangan untuk beratus tahun kemudian.

Penataan kota juga terlihat kacau balau dari segi bangunan tua. Ini memang cerita yang paling hangat soal penataan kota, baik dalam perspektif sejarah, tata ruang, sampai seni. Kota tua yang akan genap berusia 416 tahun pada 1 Juli 2006 mendatang ini, merupakan salah satu kota di Indonesia yang paling gemar “melahap” bangunan tua yang indah dan bersejarah. Dalam 10 tahun terakhir tak terhitung lagi jumlah bangunan tua yang dirobohkan atas nama pembangunan. Misalnya eks Kantor Bupati Deli Serdang di Jalan Brigjen Katamso, Gedung South East Asia Bank di Jalan Ahmad Yani, eks Kantor Dinas Pekerjaan Umum Medan di Jalan Listrik, Balai Kerapatan Adat di Jalan Brigjen Katamso, serta puluhan rumah melayu di Kompleks Perum Kereta Api. Di jalan Suka Mulia, lokasi pembangunan sebuah hotel apartemen mewah, eks Kantor Badan Kepegawaian Daerah Sumatera Utara juga sudah rata dengan tanah. Bangunan bersejarah yang merupakan perpaduan arsitektur Eropa dan tropis, eks Gedung PT Mega Eltra di jalan Brigjend Katamso juga rata dengan tanah. Kini di sana, hanya tersisa pertapakan dari bangunan baru yang tak jelas dan juga belum terlaksana.

Kemudian, pembongkaran bekas gedung Bank Modern di Kesawan, Jalan Ahmad Yani. Bangunan yang bercorak art deco itu pernah menjadi Kantor Perwakilan Stork, perusahaan Belanda yang memproduksi dan menjual mesin- mesin industri perkebunan. Padahal, konon, keindahan gedung-gedung tua yang berjajar di kawasan Kesawan itulah yang menyebabkan Medan juga digelari sebagai Paris van Sumatera.

Bangunan tua di Medan, menurut data dari dinas tata kota dan tata bangunan kota Medan, ada sebanyak 42 bangunan. Itu yang terdata dan masuk dalam daftar bangunan yang dilindungi dengan payung hukum Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 1988 tentang Pelestarian Bangunan dan Lingkungan yang Bernilai Sejarah Arsitektur Kepurbakalaan serta Penghijauan Dalam Daerah Kota Medan. Nah, bila dihitung-hitung, ada puluhan lagi bangunan tua yang memiliki nilai kesejarahan dan keindahan, yang belum masuk Perda itu. Bangunan-bangunan itulah yang menjadi “korban penataan kota” selama ini. Dulu, bahkan dua bangunan dari 42 yang dilindungi oleh perda tersebut ternyata juga dihancurkan, yaitu Kantor Bupati Deli Serdang dan Bank South Asia di Jalan Pemuda.

Kota Jasa dan Industri
Konsep kota Medan masa depan, menurut informasi yang didapat dari Musyawarah Rencana Pengembangan (Musrenbang) awal Maret lalu di Hotel Emerald Garden Medan, adalah kota jasa dan industri. Kota Medan nantinya akan bertumpu pada kota jasa dengan simbol-nya pembangunan Central Bussines District (CBD) di kawasan eks polonia. Sementara kota industri di pusatkan di kota pelabuhan Belawan. Konsep demikian membuat penataan sub-sub kota, yang dihubungkan dengan jalan lingkar kota Medan, menjadi penting. Kawasan pusat kota seperti Diponegoro, Sudirman, Lapangan Merdeka dan Benteng (plus Kesawan), Majestik dan Gatot Subroto, dan seterusnya, memang hanya difungsikan sebagai pusat perdagangan.

Dari konsep demikian, tak heran bila kemudian, kota Medan telah sekian lama dipenuhi oleh billboard iklan di mana-mana. “Pasar pangsa iklan billboard memang menyedot kue iklan terbesar. Setelah itu iklan di media cetak dan elektronik,” kata Ir Boy Hendri, General Manager Radio Delta FM kepada saya dalam suatu wawancara. Namun, bisnis iklan ini memang menyesakkan mata. Bahkan Pemko sendiri ikut-ikutan memasarkan iklan billboard di jalanan ini dengan billboard elektronik yang terpasang misalnya di daerah Putri Hijau dan Polonia. Walaupun, pada mulanya billboard elektronik berisi informasi umum dari pemerintah. Seorang seniman, Togu Sinambela pernah berkata, “Perspektif seni pemerintah kota Medan ini bisa terlihat dari semrawutnya pemasangan billboard di jalanan kota Medan.”

Kelelahan warga kota Medan melihat billboard hampir sama dengan kelelahan menatap ruko. Berjalanlah Anda di seluruh sudut kota Medan, mata Anda baru sedikit teduh bila Anda melewati kawasan jalan Sudirman, yang di sana kantor Gubernur Sumut masih “elok dipandang”. Memang, untung saja kantor gubernur kita tidak dalam bentuk ruko atau cuma segi empat saja. Itu artinya, bola kedua mata jutaan warga Medan, dipenuhi oleh simbol-simbol kebudayaan yang menjenuhkan, ruwet, macet, panas, berdebu, dan seterusnya.

Ketiadaan ruang masyarakat untuk merasakan keindahan kota ini, di satu sisi membuat kota dan warga menjadi berjarak alias senjang. Warga memandang kota Medan hanya dengan perspektif pragmatis dan konsumstif. Bayangkan kejadian begini, rumah Anda di kawasan pinggir, melewati jalanan tanpa memandang kanan dan kiri, langsung masuk kantor, dan sore harinya pulang ke rumah. Artinya, kota Medan hanya menjanjikan rutinitas yang, menurut banyak seniman, mematikan “rasa” dan “kering”.

Dan, ironisnya, tumpuan untuk memberi keindahan kota itu, justru menjiplak habis-habisan gaya luar negeri ke Medan. Lihatlah ketika pertapakan Medan City Hall Town dan Merdeka Walk, ataupun Kesawan Square, yang diniatkan bisa seperti wisata jalanan (boulevard walk) di Singapura, Hongkong, ataupun New York. Kenyataannya memang, bahkan pengamen pun tak mendapatkan tempat di sana sekarang. Bagaimana seseorang karyawan di Medan yang gajinya hanya sebatas “upah minimum” (dan kebanyakan di bawah itu), berjalan di daerah-daerah wisata baru seperti Plaza Medan Fair, Merdeka Walk, Kesawan Square, Sun Plaza, Grand Palladium, dan seterusnya, tanpa membersitkan keinginan untuk membeli sebuah barang yang juga seharga upah itu? Bukankah dengan demikian, telah terjadi jarak antara kota dan warganya sendiri? Tidak heran, ruang publik yang tersedia dalam tata kota Medan, dan menjadi milik sebenarnya warga Medan -, hanyalah warung kopi!

Dus, adakah seni di kota ini?

19 thoughts on “Kota Medan, Kota (Tak) Berseni?

  1. hehehhe… kota medan dengan segala hiruk pikuknya memang menyediakan hal yang pantas… No offense yah… tapi bisa dibilang, medan begini karena medan yang mau…

    Salam kenal anyway 🙂

    Like

  2. medanphoto…terimakasih dah mampir. link-an terus …! 😀 … oya, kayaknya multiply gak ngizinin comment dari wordpress ya 😀

    Like

  3. hmm…
    ingat banget waktu masih sekolah di SMUN 7 Medan, klo kita masuk lewat kodim (samping nomensen) ada rumah2 ebalnda yang pas balik bulan 12 kemaren udah ga ada lagi..
    kemana yah???
    kemana medan tidak memberdayakan kota tuanya sebagai objek wisat kaya di jakarta (wisata kota tua). jadi sedih ngeliat PEMKO medan yang buncit dan tamak2 sehingga dengan seenaknya melakukan tukar guling demi kepentingan golongan tertentu yang lebih berduit!

    Like

  4. ah. mungkin rumah belanda yang di depan kantor PM yang masuk kompleks PJKA? Kalo yang itu, sekarang sedang dipakai untuk galeri seni A1 sekarang 🙂

    Like

  5. medan memang parah banget… mungkin terkait karakter penduduknya juga yang keras, jauh dari estetika… dari sisi tata kota, liat aja semua mall dan shopping center yang agak bagus ngumpul di radius yang ga lebih dari 4km.. gak ada yg mau minggir sedikit… parah banget… soal kota tak berseni.. setuju.. liat aja dengan jumlah penduduk yang krg lebih sama dgn bandung, mana ada band asal medan yg suskes.. padahal orang batak pinter nyanyi (katanya)… no offense, gw juga orang batak… gw ga yakin medan masih kota besar nomor 3 di indo.. at least pasti udah kalah sama bandung, mungkin makassar juga… pity medan

    ada tapi dulu ….hahahahaha 😀

    Like

  6. kuala namu juga gak jadi2… entah sampai kapan.. feeling gw juga pasti kalah bagus sama hasanuddin yg baru.. paling2 nanti isinya juga preman2 sama calo2 dari travel2, sama kayak polonia sekarang…

    wekekekekekkkkkkk ….

    Like

  7. Terserah orang mau bilang apa tentang kota Medan,yang penting bagi gua Medan top abis……kota berjuta kenangan.Titik awal segala kehidupan gua.Disini gua merasa terlahirkan kembali. Thanks medan

    Like

  8. medan tetaplah medan, kalau pun sudah berubah itu karena perkembangan yang sudah dirasakan kota medan jadi apapun yang terjadi tetaplah kota medan.. khan bagus kalo medan da jadi kota yang begitu metro ato mungkin da cosmo, berarti medan ga ketinggalan donk, oiya kembali kekitanya juga, kalau mw ya baiklah kita semua menjaga apa yang ada untuk menjadikan kota medan, kota yang dipenuhi dengan keindahan alam yang menakjubkan…… horas bahhh…

    Like

  9. cuman di medan makanan paling enak dn paling lengkap se indonesia daerah lain lewaatttttt… viva medannnn

    Like

  10. Kota medan emang semrawut, dari segi lalulintasnya bahkan rata2 kota di Indonesia begitu…maaf sebelumnya salam untuk semua dari firman makassar

    Like

  11. kota medan …
    gk ada tandingan nyaa…
    cuman medan yang oke …
    dan pas di lidah 😀

    hahahah

    Like

  12. Thanks a bunch for sharing this with all of us you
    actually recognize what you’re speaking approximately! Bookmarked. Please additionally visit my web site =). We may have a hyperlink trade contract among us

    Like

Leave a comment