Iran, Karbala dan Jejak Para Martir


Suatu hari, Muhammad SAW, menggenggam sebongkah tanah dan beliau berkata kepada istrinya, Ummu Salamah, “Simpanlah tanah ini baik-baik. Maka ketahuilah ketika ia berubah menjadi darah, itulah masa ketika Husein, cucuku, wafat di tanah Karbala.”

====

Sepucuk surat diterima cucu Muhammad SAW, Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib. Isinya, warga Kufah, Irak, mengundang beliau untuk bersama-sama melawan khalifah Dinasti Umayyah pimpinan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Imam Husein diisolasi dan diintimidasi oleh penguasa karena tidak mau memba’iat (mengakui) Yazid bin Mu’awiyah sebagai khalifah Islam pengganti Mu’awiyah. Husein merupakan pengganti khalifah Mu’awiyah bin Abu Sufyan sesuai perjanjian antara Mu’awiyah dan Hasan (abang Husein), yang diingkari sendiri oleh Mu’awiyah. Warga Kufah kemudian menawarkan “suaka politik” dan Husein pun berangkat ke Kufah, Irak.

Pada 2 Muharram 61 Hijriah, rombongan Husein tiba di suatu padang yang dialiri sungai Elfrat, Irak. Diriwayatkan, ketika beliau tiba di padang ini, kuda yang ditungganginya tiba-tiba berhenti. Kuda itu tetap bergeming kendati ia sudah menarik tali kekangnya kuat-kuat agar beranjak dari tempatnya berdiri. Husein lalu mencoba menunggangi kuda lain, namun hasilnya tetap sama, kuda kedua itu juga tak menggerakkan kakinya. Husein nampak mulai curiga sehingga bertanya: “Apakah nama daerah ini?”
“Qadisiah,” kata anggota rombongannya.
“Adakah nama lain?”
“Shati’ Al-Furat.”
“Selain itu ada nama lain lagi?”
“Karbala.”

Mendengar jawaban terakhir ini, Husein segera berucap, “Kita berhenti di sini, karena di sinilah akhir perjalanan kita, di sinilah tempat tumpahnya darah kita, dan di sinilah tempat kita dikebumikan.”

Delapan hari kemudian, 10 Muharram 61 H, Husein menjadi syuhada terakhir di Padang Karbala. Kepalanya dipotong oleh Syimir bin Dzil Jausyan, ditancapkan ke sebuah tombak, diarak ke seluruh Kufah dan diberikan kepada Gubernur Kufah, Ubaidillah bin Ziyad, dan kemudian diserahkan kepada khalifah Yazid bin Mu’awiyah. Keturunan Muhammad SAW lalu dilanjutkan oleh satu-satunya anak Husein yang hidup, Ali Zainal Abidin Assajad, buah hati dari pernikahannya dengan putri Raja Persia (Iran sekarang), Yazdgard III, bernama Jahan Syah yang kemudian berganti nama menjadi Syahr Banu.

Kebudayaan Martir
Kebudayaan menurut antropolog Koentjoroningrat (Alm.) dikatakan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Koentjoroningrat melanjutkan, kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta, buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal dan dengan demikian, ke-budaya-an dapat diartikan: “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi makna budaya sebagai pikiran dan akal budi.

Bisakah martir dikatakan sebagai bagian dari kebudayaan? Dalam bahasa Indonesia, martir diartikan pada orang yang rela menderita atau mati daripada menyerah karena mempertahankan agama atau kepercayaan dan orang yang mati dalam memperjuangkan kebenaran agama. Masuk akalkah ini? Adakah sistem gagasan dan adakah kehidupan masyarakat yang diperjuangkan di dalamnya, seperti yang diminta oleh definisi kebudayaan?

Amerika Serikat mendefinisikan penyerbuan pasukannya ke Afganistan dan Irak sebagai salah satu cara untuk melindungi demokrasi dan membebaskan dunia dari serangan teroris. Pertanyaannya, apakah para prajurit AS yang mati di sana menjadi martir terhadap ideologi atau kebijakan negaranya? Kalaulah jawabannya adalah iya, apakah semua orang yang membela ideologi negaranya bisa dikatakan martir? Dan dengan demikian, bisakah dikatakan orang-orang Afghan, Irak, dan (juga) tentara Taliban juga adalah para martir? Adakah prajurit Osama bin Laden juga martir? Apakah Imam Samudra ataupun Amrozi juga adalah martir bagi ideologi mereka?

Batasan martir dalam alam modern ataupun post modern sekarang ini sungguh kabur. Martir dikatakan sebagai orang yang membunuh atau mengorbankan dirinya untuk keyakinannya. Siapapun di alam modern ini akan mengatakan, bunuh diri adalah perbuatan sia-sia. Tidak ada satupun agama yang menghalalkan bunuh diri.

Tapi benarkah “aksi bunuh diri” itu adalah “bunuh diri”? Benarkah Imam Husein sedang membunuh dirinya ketika ia tahu pasukannya yang hanya berjumlah 72 orang melawan 4.000 – 5.000 orang pasukan Yazid pimpinan Umar bin Sa’ad?

Alam (post) modern yang sering dikatakan penuh cinta kasih ini, bisa dipastikan akan menyerukan, “Lebih baik Husein menyerah saja dan tidak mengorbankan diri dan keluarganya, karena dia pasti kalah,” ketika mengomentari kisah Karbala. Humanisme mengatakan, kehidupan lebih bermakna dari kematian. Sebuah komik Jepang terkenal, Samurai X dengan karakter Kenshi Himura, mempertanyakan, bagaimana mungkin akan menyelamatkan kehidupan dengan kematian?

Tapi benarkah demikian? Bagaimana kalau logikanya dibalik. Seandainya pasukan Imam Husein yang berjumlah 4.000 – 5.000 orang dan pasukan Umar hanya 72 orang, seperti apakah posisi yang diberikan orang modern kepada Husein bila ia mengalami kematian di peperangan tersebut? Apakah kemenangan perang yang sedang diperjuangkan oleh Imam Husein?

Imam KhomeiniBunuh diri selalu dikonotasikan kepada pihak yang lemah dan kecil. Kelemahan ini, menurut Emile Durkheim dalam Suicide-nya, merupakan akibat dari keterasingan (alienasi) individu dari kelompok dan masyarakatnya. Tapi bukankah batasan bunuh diri sangat jauh dengan pengorbanan? Apakah mengurbankan lembu sama pengertiannya dengan membunuh lembu?

Ini ada analogi lain. Bila empat orang anak Anda disiksa, diperkosa, dan dibunuh di depan Anda dan kemudian Anda memutuskan melawan ribuan orang pelakunya sampai titik darah penghabisan pada saat itu juga, apakah Anda juga dikatakan sedang melakukan aksi bunuh diri? Layakkah Anda menyerukan menyerah sementara Anda tahu penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan itu akan terus berlangsung?

Menilik martir tidaklah tepat bila dilihat hanya pada wujud aksi itu sendiri. Argumentasi dan latar belakang aksi yang menjadi esensi, tidak bisa dikaburkan oleh persoalan metode. Ambil perbandingan saja, antara seorang Marxis dengan Kapitalis, apakah sama cara yang mereka pakai dalam mencapai tujuannya?

Samakah makna ciuman bibir di antara orang Amerika dengan ciuman bibir di antara orang Indonesia, Arab, Afrika dan belahan negara berkembang dan miskin lainnya. Bila jawabannya adalah berbeda, maka perbandingan selanjutnya adalah samakah gagasan yang dimiliki oleh seorang miskin, terjajah, teraniaya, terzalimi, tereksploitasi, tertipu dan hanya memiliki sepasukan tentara bersenjatakan pedang, dengan gagasan yang dimiliki oleh orang yang kenyang, memiliki riwayat sebagai penjajah, pengeruk modal dan eksploitir alam nomor wahid, dan memiliki pasukan tentara yang memiliki nuklir, satelit, serta anggaran tak terhingga?

Dan kemudian, apakah kita mengira bahwa orang-orang yang berbeda tadi sedang menuju ke arah titik sama? Orang yang kelaparan bukan berarti punya tujuan untuk kenyang, orang miskin bukan berarti hendak menjadi kaya, orang yang tertipu bukan berarti ingin menjadi penipu, orang yang terdzalimi bukan berarti ingin jadi diktator.

Bukankah tolok ukur menjadi sebuah bangsa dan peradaban bukanlah menjadi seorang “Eropa atau Amerika”?

Revolusi Iran
Beberapa waktu lalu, Minggu 11 Februari, rakyat Iran telah merayakan hari Revolusi Iran ke-28. Sejak dikomando oleh Imam Khomeini sehingga puncaknya pada 11 Februari 1979, rakyat Iran mengalami pembebasan dari tirani monarki yang diselenggarakan oleh rezim yang bernama sangat bagus, Syah Reza Pahlevi. Keterikatan Persia atau Iran ini dengan ideologi yang dibawa Imam Husein tidaklah terbantahkan, dengan diberlakukannya konsep Wilayah Faqih dalam konstitusi Iran yang digarap oleh Imam Khomeini dan ribuan ulama Iran lainnya. Iran menganut Syi’ah Itsna Asyariah yang mengakui ada 12 Imam yang menjadi khalifah di muka bumi. Imam Husein adalah imam ketiga setelah Imam Ali dan Imam Hasan.

Namun, berjuta orang modern kemudian memasukkan Iran sebagai salah satu “Poros Setan” dunia yang menghasilkan para teroris kelas wahid. Republik Islam Iran yang dipimpin oleh para ulama dikatakan melahirkan setan-setan dan dedemit yang setiap saat berpotensi akan menghancurkan peradaban dunia yang (katanya) dilandasi cinta kasih ini.

Namun, siapa pun tahu, negara-negara yang menjunjung dan memproklamirkan “The Declaration of Human Rights” itu adalah negara-negara yang juga menginvasi Mesir, Aljazair, Irak, Indonesia, Malaysia, India, dan di awal abad 21 ini, Somalia.

Kebudayaan jenis apakah ini?

5 thoughts on “Iran, Karbala dan Jejak Para Martir

  1. saya suka gaya bahsanya yang bermakna serupa tapi tak sama terima kasih atas pencerahannya tapi inilah yang dialami imam husien kalaupun menyerah tetap akan di bunuh karena dikirim pasukan tersebut oleh yazid untuk menhabisi anak ali bin abi thalib merupakan rivalnya . kalau menyerah tentu Allah akan murka . berarti tunduk pada kezaliman .dan tetap akan dibunuh oleh pasukan yazid bin muawiyah

    Like

Leave a comment